Madinah

.......................

Mekah

.....................

Bertaubatlah

Ajal tidaklah menunggu kita untuk bertaubat, tetapi kitalah yang menunggu ajal dengan bertaubat.

ADAB MENUNTUT ILMU

Akan aku jelajahi semua negeri untuk mencari ilmu, atau aku akan mati sebagai orang asing, jika diriku harus mati. Aku tidak menyesal karena ALLAH pasti merahmati aku, Tetapi jika selamat, Aku akan segera kembali.

Rabu, 15 Agustus 2012

Demitri Bolykov Saudaraku

Ahli Fisika Ini Jadi Mualaf karena Matahari, Mengapa? (1)

Senin, 13 Agustus 2012, 15:04 WIB
jurnalhajiumroh.com
Ahli Fisika Ini Jadi Mualaf karena Matahari, Mengapa? (1)
Demitri Bolykov, seorang ahli fisika yang sangat menggandrungi kajian serta riset-riset ilmiah, mengatakan bahwa pintu masuk ke Islamannya adalah fisika. Sungguh suatu yang sangat ilmiah, bagaimanakah fisika bisa mendorong Demitri Bolyakov masuk Islam?

Demitri mengatakan bahwa ia tergabung dalam sebuah penelitian ilmiah yang dipimpin oleh Prof. Nicolai Kosinikov, salah seorang pakar dalam bidang fisika.
Mereka sedang dalam penelitian terhadap sebuah sampel yang diuji di laboratorium untuk mempelajari sebuah teori moderen yang menjelaskan tentang perputaran bumi dan porosnya. Mereka berhasil menetapkan teori tersebut.
Akan tetapi Demitri mengetahui bahwasanya diriwayatkan dalam sebuah hadis dari nabi saw yang diketahui umat Islam, bahkan termasuk inti akidah mereka yang menguatkan keharusan teori tersebut ada, sesuai dengan hasil yang dicapainya. Demitri merasa yakin bahwa pengetahuan seperti ini, yang umurnya lebih dari 1.400 tahun yang lalu sebagai sumber satu-satunya yang mungkin hanyalah pencipta alam semesta ini.
Teori yang dikemukan oleh Prof. Kosinov merupakan teori yang paling baru dan paling berani dalam menafsirkan fenomena perputaran bumi pada porosnya. Kelompok peneliti ini merancang sebuah sampel berupa bola yang diisi penuh dengan papan tipis dari logam yang dilelehkan , ditempatkan pada badan bermagnit yang terbentuk dari elektroda yang saling berlawanan arus.
Ketika arus listrik berjalan pada dua elektroda tersebut maka menimbulkan gaya magnet dan bola yang dipenuhi papan tipis dari logam tersebut mulai berputar pada porosnya fenomena ini dinamakan “Gerak Integral Elektro Magno-Dinamika”. Gerak ini pada substansinya menjadi aktivitas perputaran bumi pada porosnya.
Pada tingkat realita di alam ini, daya matahari merupakan “kekuatan penggerak” yang bisa melahirkan area magnet yang bisa mendorong bumi untuk berputar pada porosnya. Kemudian gerak perputaran bumi ini dalam hal cepat atau lambatnya seiring dengan daya insensitas daya matahari. Atas dasar ini pula posisi dan arah kutub utara bergantung.

Redaktur: Endah Hapsari
Sumber: jurnalhajiumroh.com

Cecilia Mahmuda

Jauh sebelum memeluk Islam, Cecilia Mahmuda Cannolly sebenarnya telah menjadi Muslim tanpa menyadarinya. Sudah sejak lama ia kehilangan kepercayaan terhadap Kristen.

Alasan terbesarnya adalah ketidakpuasan terhadap jawaban yang ia peroleh mengenai ajaran Kristen. Ia kerap mendapat jawaban yang monoton. Para pendeta hanya mengatakan bahwa ia tidak boleh mempertanyakan ajaran gereja dan harus memiliki keyakinan.

"Saat itu, saya tidak punya keberanian mengatakan bahwa saya tidak bisa percaya akan sesuatu yang tidak saya mengerti," ujarnya.

Ia merasa tidak mampu mempercayai konsep trinitas dalam Kristen. Berdasarkan pengalamannya, apa yang ia alami sama dengan apa yang dialami pemeluk Kristen lainnya. Merasa tidak puas, ia akhirnya memutuskan meninggalkan ajaran Katolik Roma dan mencari jawaban atas pertanyaannya.

Berseberangan dengan apa yang diajarkan Kristen, dalam pencariannya Cecilia menyadari hidup memiliki makna yang luas. Tidak hanya sebatas dogma dan ritual. Ia merasa kemanapun ia memandang, ia melihat hasil karya Tuhan. Pohon, bunga, burung dan binatang merupakan anugerah Tuhan. "Bahkan bayi yang baru lahir adalah sebuah keajaiban," katanya.

Pandangannya tersebut berbeda dengan apa yang selama ini ia terima dalam ajaran Kristen. Ketika masih kecil, gereja mengajarkannya bahwa setiap manusia, bahkan bayi membawa dosa.

Suatu hari, anak perempuannya membawa pulang buku mengenai Islam. Mereka berdua sangat tertarik dengan ajaran Islam dan membeli lebih banyak buku mengenai ajaran Islam.

Dari buku-buku tersebut ia memperoleh pencerahan. Ia sempat menemui beberapa Muslim dan bertanya soal hal yang belum ia mengerti. Ia terkejut sebab semua pertanyaannya mampu dijawab dengan tepat dan jelas. Hal itu sangat berbeda dengan pengalaman sebelumnya.

Setelah membaca dan belajar banyak mengenai Islam, ibu dan anak tersebut akhirnya memutuskan untuk bersyahadat. Ia memakai nama Mahmuda dan anaknya Rashida. "Jika saya ditanya apa yang membuat saya tertarik pada Islam, saya akan menjawab shalat," kata perempuan asal Australia tersebut.

Menurutnya, berdoa dalam ajaran Kristen adalah untuk meminta agar Tuhan mengabulkan permintaan kita. Sedangkan dalam Islam, melaksanakan shalat berarti memuji Allah dan bersyukur atas rahmatnya. Hanya Allah yang tahu apa yang terbaik bagi umatnya, bahkan tanpa perlu diminta.
Redaktur: Djibril Muhammad
Reporter: Ani Nursalikah

Halo Yahya

Yahya Yopie dan Keluarganya, Mantan Pendeta Yang Memeluk Islam

Print PDF
Warga di kota Tolitoli di penghujung bulan Ramadan 1427 Hijriah belum lama ini, dihebohkan dengan salah seorang pendeta bersama seluruh keluarganya memeluk Islam. Di mana-mana santer dibicarakan soal Pendeta Yahya Yopie Waloni dan keluarganya masuk Islam. Bahkan media internet pun sudah mengakses kabar ini. Bagaimana aktivitas eks pendeta itu setelah memeluk Islam. Berikut kisahnya:
PAGI menjelang siang hari itu, nuansa Idul Fitri 1427 Hijriah masih terasa di Tolitoli. Hari itu baru memasuki hari ke-9 lebaran. Kendati terik panas matahari masih mengitari Tolitoli dan sekitarnya, tetapi denyut aktivitas warga tetap seperti biasa.

Begitupun di sekitar Jalan Bangau, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Baru, Kabupaten Tolitoli. Aktivitas sehari-hari warga berjalan seperti biasa. Kecuali di salah satu rumah kost di jalan itu, pintunya tampak masih tertutup rapat. Di rumah kost inilah, Yahya Yopie Waloni (36), bersama istrinya Lusiana (33) dan tiga orang anaknya tinggal sementara.

“Pak Yahya bersama istrinya baru saja keluar. Sebaiknya bapak tunggu saja di sini, sebelum banyak orang. Karena kalau pak Yahya ada di sini banyak sekali tamunya. Nanti bapak sulit ketemu beliau,” jelas ibu Ani, tetangga depan rumah Yahya kepada Radar Sulteng.

Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah Yahya dengan tulus mengucapkan dua kalimat syahadat.

Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad Yahya, dan istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitupun ketiga anaknya. Putri tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan nama Nur Hidayah, Sarah (7 tahun) menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria (4 tahun) tetap menggunakan nama itu.

Mohammad Yahya sebelum memeluk Islam, pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004. Saat itu juga ia sebagai pendeta dengan status sebagai pelayan umum dan terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana. Ia menetap di Sorong sejak tahun 1997. Tahun 2004 ia kemudian pindah ke Balikpapan. Di sana ia menjadi dosen di Universitas Balikpapan (Uniba) sampai tahun 2006. Yahya menginjakkan kaki di kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006.

Sambil menunggu kedatangan Yahya, ibu Ani mempersilakan Radar Sulteng masuk ke rumahnya. Sebagai tetangga, Ibu Ani tahu banyak aktivitas yang terjadi rumah kontrakan Yahya. “Pak Yahya pindah di sini kira-kira baru tiga minggu lalu. Sejak pindah, di sini rame terus. Orang-orang bergantian datang. Ada yang datang dengan keluarganya. Malah ada yang rombongan dengan truk dan Kijang pickup. Karena rame sekali terpaksa dibuat sabua (tenda, red) dan drop kursi dari kantor Lurah Tuweley,” cerita ibu Ani.

Hari pertama Yahya pindah di Jalan Bangau itu, orang-orang berdatangan sambil membawa sumbangan. Ada menyumbang belanga, kompor, kasur, televisi, Alquran, gorden dan kursi. Mereka bersimpati karena Yahya sekeluarga saat pindah dari tempat tinggal pertamanya hanya pakaian di badan. Rumah yang mereka tempati sebelumnya di Tanah Abang, Kelurahan Panasakan adalah fasilitas yang diperoleh atas bantuan gereja. Sehingga barang yang bukan miliknya ia tanggalkan semuanya.

Tidak lama menunggu di rumah Ibu Ani, datang dua orang ibu-ibu yang berpakaian dinas pegawai negeri sipil. Keduanya juga mampir di rumah Ibu Ani. Salah satu dari mereka adalah Hj Nurdiana, pegawai di Balitbang Diklat, Pemkab Tolitoli. Ibu berjilbab ini ternyata guru mengaji. Dia adalah guru mengaji yang khusus membimbing istri Yahya.

“Saya baru tiga kali pertemuan dengan ibu Yahya. Supaya ibu Yahya mudah memahami huruf hijjaiyah, saya menggunakan metode albarqy. Alhamdulillah sekarang sedikit sudah bisa,” kata Nurdiana.

Menurutnya, dia tidak kesulitan mengajari ibu Yahya. Malah, katanya, ibu Yahya cepat sekali memahami huruf-huruf hijaiyah yang diajarkan. Karena itu dia memperkirakan kemungkinan dalam waktu tidak lama ibu Yahya sudah bisa lancar mengaji.

Hanya sekitar 20 menit menunggu di rumah ibu Ani, bunyi kendaraan sepeda motor butut milik Yahya terdengar memasuki halaman rumah kontrakannya. Radar Sulteng diterima dengan senang hati, lalu dipersilakan duduk di sofa. Sementara Yahya memilih duduk di lantai alas karpet. Badannya disandarkan ke kursi sofa. “Kita lebih senang duduk di bawah sini,” tuturnya dengan logat kental Manado.

Cara duduk Yahya, tampak tidak tenang. Sesekali ia membuka kedua selangkangnya. Ternyata karena baru beberapa hari selesai disunat. “Setelah tiga hari saya masuk Islam, saya langsung minta disunat di rumah ini,” cerita Yahya, sesekali disertai canda.

Penataan interior rumah kost Yahya tampak apik. Di dinding ruang tamu tampak terpampang kaligrafi ayat kursi yang dibingkai dengan warna keemasan. Di sisi lain, kaligrafi Allah-Muhammad juga terpampang. Di meja ruang tamu terdapat dua buah Alquran lengkap terjemahannya. Di tengah meja itu, juga masih ada tiga toples kue lebaran. “Rumah ini saya kontrak sementara. Saya sudah bayar Rp2,5 juta,” rinci Yahya.

Di tengah asiknya bercerita, istri Yahya, Mutmainnah menyuguhkan beberapa cangkir teh panas. “Silakan diminum air panasnya,” kata ibu tiga anak ini yang saat itu mengenakan jilbab cokelat.

Tidak lama kemudian, dia masuk di salah satu kamar dan mengajak guru mengajinya Hj Nurdiana bersama rekannya. Dari balik kamar itulah terdengar suara Mutmainnah yang sedang mengeja satu per satu huruf hijaiyah. Terdengar memang masih kaku, tetapi berulang-ulang satu per satu huruf-huruf Alquran itu dilafalkannya.

Lain halnya dengan suaminya, Yahya. Pria kelahiran Manado ini mengaku sudah bisa melafalkan beberapa ayat setelah beberapa kali diajarkan mengaji oleh Komarudin Sofa. Selain Komarudin, selama ini ia juga mendapat bimbingan dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani. “Hanya lima menit saya diajarkan. Saya langsung paham. Surat Fatihah saya sudah hafal,” ujar Yahya.

Selain belajar mengaji dan menerima tamu, aktivitas Yahya juga kerap menghadiri undangan di beberapa masjid. Tidak hanya dalam kota, tetapi sampai ke desa-desa di Kabupaten Tolitoli. “Saya ditemani beberapa orang. Ada juga dari Departemen Agama,” katanya.

Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. “Hari itu saya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat yang dituntun Pak Komarudin,” cerita Yahya. Apa yang melatari sampai Yahya dan keluarganya memeluk Islam.


PAK Yahya, begitu sapaan akrabnya. Pria kelahiran Manado tahun 1970 ini lahir dari kalangan terdidik dan disiplin. Ayahnya seorang pensiunan tentara. Sekarang menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten baru di Sulawesi Utara. Sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, Yahya saat bujang termasuk salah seorang generasi yang nakal. “Saya tidak perlu cerita masa lalu saya. Yang pasti saya juga dulu pernah nakal,” tukasnya.

Lantaran kenakalannya itulah mungkin, sehingga beberapa bagian badannya terdapat bekas tato. Di lengannya terdapat bekas luka setrika untuk menghilangkan tatonya. “Ini dulu bekas tato. Tapi semua sudah saya setrika,” katanya sambil menunjuk bekas-bekas tatonya itu.

Postur tubuhnya memang tampak mendukung. Tinggi dan tegap. Meski ia pernah nakal, tetapi pendidikan formalnya sampai ke tingkat doktor. Ia menyandang gelar doktor teologi jurusan filsafat. Saat ditemui, Yahya memperlihatkan ijazah asli yang dikeluarkan Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado tertanggal 10 Januari 2004. Sehingga titel yang didapatnya pun akhirnya lengkap menjadi Dr Yahya Yopie Waloni, S.TH, M.TH.

Sebelum menyatakan dirinya masuk Islam, beberapa hari sebelumnya Yahya mengaku sempat bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lamanya, kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli. Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut. Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si penjual ikan itu, tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.

“Kepada saya si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik sekali dengan saya,” cerita Yahya.

Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, Yahya mengaku berdialog panjang soal Islam. Tapi Yahya mengaku aneh, karena si penjual ikan yang mengaku tidak lulus Sekolah Dasar (SD) tetapi begitu mahir dalam menceritakan soal Islam.

Pertemuan ketiga kalinya, lanjut Yahya, si penjual ikan itu sudah tampak lelah. “Karena saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa saja. Tapi si penjual ikan itu tetap ngotot tidak mau buka puasanya,” cerita Yahya, yang ditemui di rumah kontrakannya.

Sampai saat ini Yahya mengaku tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, desa Sandana (salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). Meski sudah beberapa orang yang mencarinya hingga ke Doyan, dengan ciri-ciri yang dijelaskan Yahya, tapi si penjual ikan itu tetap tidak ditemukan.

Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana (sekarang Mutmainnah, red), tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. “Malah saya dianggap sudah gila,” katanya.

Tidak lama setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita. Ia antara sadar dengan tidak mengaku mimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara Yahya di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. “Saya dialog dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,” ujar Yahya mengisahkan.

Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke dalam. Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas.

“Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,” cerita Yahya.

Sekitar dua jam dari peristiwa itu, di sebelah kamar, dia mendengar suara tangisan. Orang itu menangis terus seperti layaknya anak kecil. Yahya yang masih dalam kondisi panas-dingin, menghampiri suara tangisan itu. Ternyata, yang menangis itu adalah istrinya, Mutmainnah.

“Saya kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa menangis. Dia tidak menjawab, malah langsung memeluk saya,” tutur Yahya.

Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan Mutmainnah. “Tadinya saya sudah hampir cerai dengan istri, karena dia tetap bertahan pada agama yang ia anut. Tapi karena mimpi itulah, malah akhirnya istri saya yang mengajak,” tandasnya.

Masuknya Yahya ke agama Islam, menimbulkan banyak interpretasi. Menurut Yahya, ada yang menyebut dirinya orang gila. Ada juga yang meragukannya, dan mungkin masih banyak interpretasi lain lagi tentang dirinya. “Tapi cukup saja sampai pada interpretasi, jangan lagi melebar ke yang lain,” pungkasnya.*** dari http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Utama&id=40935

Amanda Jatuh Cinta

Amanda : Berawal Benci, Berakhir Cinta

Print PDF
Meski awalnya “membenci” Islam, gadis IOWA yang tinggal di Connecticut ini pun akhirnya ‘jatuh cinta’ pada Islam. Ia, akhirnya melafazkan syahadat

Sekitar awal September 2006 lalu, kelas Islamic Forum for non Muslims kedatangan seorang gadis bule bermata biru. Duduk di salah satu sudut ruang dengan mata yang tajam, hampir tidak kerkedip dan bahkan memperlihatkan pandangan yang tajam. Beberapa kali lolucen yang saya sampaikan dalam kelas itu, tidak juga menjadikannya tersenyum.
Ketika sesi tanya jawab dimulai, sang gadis itu mengangkat tangan, dan tanpa tersenyum menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang menjadikan sebagian peserta ternganga, dan bahkan sebagian menyangka kalau saya akan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

“If Muhammad is a true prophet, then why he robbed and killed?”, tanyanya dengan suara yang lembut tapi tegas. “Why he forced the Jews to leave their homes, while they have been settled in Madinah a long time before Muhammad was born?”, lanjutnya.

Sambil tersenyum saya balik bertanya, “Where did you get this information? I mean, which book did you read”. Dia kemudian memperlihatkan beberapa buku yang dibawanya, termasuk beberapa tulisan/artikel yang diambil dari berbagai sumber di internet. Saya meminta sebagian buku dan artikel tersebut, tapi justru saya tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaannya.

Saya balik bertanya, “Where are you from and where do you live?”. Ternyata dia adalah gadis IOWA yang sekarang ini tinggal di Connecticut.

Sambil memperkenalkan diri lebih jauh saya memperhatikan “kejujuran” dan “inteligensia” gadis tersebut. Walaupun masih belum bisa memperlihatkan wajah persahabatan, tapi nampaknya dia adalah gadis apa adanya.

Dia seorang “saintis” yang bekerja di salah satu lembaga penelitian di New York. Tapi menurutnya lagi, dan sinilah baru nampak sedikit senyum, “I am an IOWAN girl”. Ketika saya tanya apa maksudnya, dia menjawab: “a very country girl”.

Oleh karena memang situasi tidak memungkin bagi saya untuk langsung berdebat dengannya perihal pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan, saya mengusulkan agar pertanyaan-pertanyaannya dikirimkan ke saya melalui email, untuk selanjuntnya bisa berdiskusi lewat email dan juga pada pertemuan berikutnya. Kelas sore itupun bubar, tapi pertanyaan-pertanyaan gadis IOWA ini terus menggelitik benak saya.

Di malam hari, saya buka email sebelum tidur sebagaimana biasa. Gadis IOWA ini pun memenuhi permintaan saya. Ia memperkenalkan diri sebagai Amanda. Ia mengirimkan email dengan lampiran 4 halaman penuh dengan pertanyaan-pertanyaan –khususunya-- mengenai Rasulullah SAW. Saya sekali lagi tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi mengajak untuk datang ke kelas Islamic Forum pada Sabtu berikutnya.

Ternyata, mungkin dia sadari sendiri bahwa beberapa peserta Forum pada Sabtu tadi kurang sreg dengan pertanyaan-pertanyaannya yang dianggap terlalu “polos dan tajam”. Maka dia mengusulkan kalau saya bisa menyediakan waktu khusus baginya untuk diskusi. Sayapun menerima usulan itu untuk berdiskusi dengannya setiap Kamis sore setelah jam kerja di Islamic Center.

Kita pun sepakat bertemu setiap jam 5:30 hingga 7:00 pm. Satu setengah jam menurut saya cukup untuk berdiskusi dengannnya.

Tanpa diduga, ternyata bulan Ramadhan juga telah tiba. Maka kedatangannya yang pertama untuk berdialog dengan saya terjadi pada Kamis ketiga bulan September 2006, di saat kita sedang bersiap-siap untuk berbuka puasa.

Dia datang, seperti biasa dengan berkerudung seadanya, tapi kali ini dengan sangat sopan, walau tetap dengan pandangan yang sepertinya curiga.

Kita memulai diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikirimkan lewat email itu. Ternyata, baru satu masalah yang didiskusikan, sesekali diselingi sedikit perdebatan yang emosional. Adzan buka puasa telah dikumandangkan. Maka dengan sopan saya minta izin Amanda untuk berbuka puasa, tapi tidak lupa menawarkan jika ingin bergabung dengan saya. Ternyata, Amanda senang untuk ikut makan sore (ikut buka) dan nampak menikmati hidangan itu.

Setelah berbuka puasa, karena harus mengisi ceramah, saya sampaikan ke Amanda bahwa diskusi kita akan dilanjutkan Kamis selanjutnya. Tapi jika masih berkenan hadir, saya mempesilahkan datang ke Forum hari Sabtu. Dia berjanji untuk datang.

Sabtu berikutnya, dia datang dengan wajah yang lebih ramah. Duduk nampak lebih tenang, tapi seolah masih berat untuk tersenyum. Padahal, diskusi saya itu terkadang penuh dengan candaan. Maklumlah, selain memang dimaksudkan untuk tidak menampilkan Islam dengan penuh “kaku” saya ingin menyampaikan ke mereka bahwa Muslim itu juga sama dengan manusia lain, bisa bercanda (yang baik), tersenyum, dan seterusnya.

Amanda nampak serius memperhatikan semua poin-poin yang saya jelaskan hari itu. Kebetulan kita membahas mengenai penciptaan Hawa dalam konteks Al-Qur’an. Intinya menjelaskan bagaimana proses penciptaan Hawa dalam prospektif sejarah, dan juga bagaimana Al-Qur’an mendudukkan Hawa dalam konteks “gender” yang ramai diperdebatkan saat ini. Keseriusan Amanda ini hampir menjadikan saya curiga bahwa dia sedang mencari-cari celah untuk menyampaikan pertanyaan yang menyerang.

Ternyata sangkaan saya itu salah. Kini Amanda sebelum menyampaikan pertanyaan justeru bertanya dulu, “Is it ok to ask this question?”. Biasanya dengan tegas saya sampaikan, “Nothing is to be hesitant to ask on any thing or any issue in Islam. You may ask any issue range from theological issues up to social ones”.

Amanda pun menanyakan beberapa pertanyaan mengenai wanita, tapi kali ini dengan sopan. Hijab, poligami, konsep “kekuasaan” (yang dia maksudkan adalah qawwamah), dll. Saya hampir tidak percaya, bagaimana Amanda paham semua itu. Dan terkadang dalam menyampaikan pertanyaan-pertanyaan itu disertai bukti-bukti yang didapatkan dari buku-buku --yang justeru-- ditulis oleh para ulama terdahulu.

Saya berusaha menjawab semua itu dengan argumentasi-argumentasi “aqliyah”, karena memang saya melihat Amanda adalah seseorang yang sangat rasional. Alhamdulillah, saya tidak tahu, apakah dia memang puas atau tidak, tapi yang pasti nampak Amanda mengangguk-anggukkan kepala.

Demikian beberapa kali pertemuan. Hingga tibalah hari Idul Fitri. Amanda ketika itu saya ajak untuk mengikuti “Open House” di rumah beberapa pejabat RI di kota New York.

Karena dia masih kerja, dia hanya sempat datang ke kediaman Wakil Dubes RI untuk PBB. Di sanalah, sambil menikmati makanan Indonesia, Amanda kembali menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tajam. “If Islam respects religious freedom, why Ahmadiyah in Indonesia is banned? Why Lia Aminuddin is arrested?”.

Saya justeru terkejut dengan informasi yang Amanda sampaikan. Saya pribadi tidak banyak membaca hal ini, dan tidak terlalu mempedulikan. Maka saya jelaskan, dalam semua Negara tentu ada peraturan-peraturan yang perlu dipatuhi. Ahmadiyah dan Lia Aminuddian, jelas saya, bukan mendirikan agama baru tapi mendistorsi agama Islam. Oleh karena mereka merusak agama yang diyakini oleh masyarakat Muslim banyak, pemerintah perlu menertibkan ini. Kelihatannya penjelasan saya kurang memuaskan, tapi diskusi kekudian berubah haluan kepada makanan dan tradisi halal bihalal.

Singat cerita, beberapa Minggu kemudian Amanda mengirimkan email dengan bunyi sebagai berikut, “I think I start having my faith in Islam”. Saya hanya mengatakan, “All is in God’s hands and yours. I am here to assist you to find the truth that you are looking for”. Cuma, Amanda mengatakan bahwa perjalanannya untuk belajar Islam ini akan mengambil masa yang panjang.

“When I do some thing, I do it with a commitment. And I truly want to know Islam”. Saya hanya menjawabnya, “Take you time, Amanda”.

Alhamdulillah, setelah mempelajari Islam hampir tujuh bulan, dan setelah membaca berbagai referensi, termasuk tafsir Fii Zilalil Qur’an (Inggris version) dan Tafhimul Qur’an (English), dan beberapa buku hadits, Amanda mulai serius mempelajari Islam.

Minggu lalu, ia mengirimkan email ke saya. Isinya begini, “I have decided a very big decision..and I think you know what I mean. I am very scared now. Do you have some words of wisdoms?”.

Saya menjawab, “Amanda, you have searched it, and now you found it. Why you have to be scared?. You believe in God, and God is there to take your hands. Be confident in what you believe in”.

Tiga hari lalu, Amanda mengirimkan kembali emailnya dan mengatakan bahwa dia berniat untuk secara formal mengucapkan “syahahat” pada hari Senin mendatang (tanggal 5 Maret 2007 kemarin). Saya bertanya, kenapa bukan hari Sabtu atau Ahad agar banyak teman-teman yang bisa mengikuti? Dia menjawab bahwa beberapa teman dekatnya hanya punya waktu hari Senin.

Alhamdulillah, disaksikan sekitar 10 teman-teman dekat Amanda (termasuk non Muslim), persis setelah adzan Magrib saya tuntun ia melafazkan “Asy-hadu an laa ilaaha illa Allah-wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah”, diiringi pekik takbir dan tetesan airmata beberapa temannya yang ikut hadir. Amandapun melakukan shalat pertama sebagai Muslim sore itu diikuti dengan doa bersama semoga Allah menguatkan jalannya menuju ridho Ilahi. oleh M. Syamsi Ali.

Amanda, selamat dan semoga Allah SWT selalu menjagamu dan menjadikanmu “pejuang” kebenaran! [www.hidayatullah.com] New York, 6 Maret 2007

*) Penulis adalah imam Masjid Islamic Cultural Center of New York. Syamsi adalah penulis rubrik "Kabar Dari New York" di www.hidayatullah.com

Pendeta Mendapat Hidayah

Abraham David Mandey : Pendeta yang mendapat Hidayah Allah

Print PDF
Barangkali tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa perjalanan hidupnya merupakan suatu kasus yang langka dan unik. Betapa tidak, Abraham David Mandey yang selama 12 tahun mengabdi di gereja sebagai "Pelayan Firman Tuhan ", istilah lain untuk sebutan pendeta, telah memilih Islam sebagai "jalan hidup" akhir dengan segala risiko dan konsekuensinya. Di samping itu, ia yang juga pernah menjadi perwira TNI-AD dengan pangkat mayor, harus mengikhlaskan diri melepas jabatan, dan memulai karir dari bawah lagi sebagai kepala keamanan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Cerita Beliau ini, - mohon maaf - tidak bermaksud untuk menjelek-jelekan Institusi tertentu karena apa yang telah terjadi Beliau terima dengan ikhlas dan tawakal, Beliau hanya ingin menceritakan proses bagaimana Beliau mendapat hidayah dan tantangannya sebagai mualaf - red.
Saya terlahir dengan nama Abraham David di Manado, 12 Februari 1942. Sedangkan, Mandey adalah nama fam (keluarga) kami sebagai orang Minahasa, Sulawesi Utara. Saya anak bungsu dan tiga bersaudara yang seluruhnya laki-laki. Keluarga kami termasuk keluarga terpandang, baik di lingkungan masyarakat maupun gereja. Maklum, ayah saya yang biasa kami panggil papi, adalah seorang pejabat Direktorat Agraria yang merangkap sebagai Bupati Sulawesi pada awal revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang berkedudukan di Makasar. Sedangkan, ibu yang biasa kami panggil mami, adalah seorang guru SMA di lingkungan sekolah milik gereja Minahasa.

Sejak kecil saya kagum dengan pahlawan-pahlawan Perang Salib seperti Richard Lion Heart yang legendaris. Saya juga kagum kepada Jenderal Napoleon Bonaparte yang gagah perwira. Semua cerita tentang kepahlawanan, begitu membekas dalam batin saya sehingga saya sering berkhayal menjadi seorang tentara yang bertempur dengan gagah berani di medan laga.

Singkatnya, saya berangkat ke Jakarta dan mendaftar ke Mabes ABRI. Tanpa menemui banyak kesulitan, saya dinyatakan lulus tes. Setelah itu, saya resmi mengikuti pendidikan dan tinggal di asrama. Tidak banyak yang dapat saya ceritakan dari pendidikan militer yang saya ikuti selama 2 tahun itu, kecuali bahwa disiplin ABRI dengan doktrin "Sapta Marga"-nya telah menempa jiwa saya sebagai perwira remaja yang tangguh, berdisiplin, dan siap melaksanakan tugas negara yang dibebankan kepada saya.

Meskipun dipersiapkan sebagai perwira pada bagian pembinaan mental, tetapi dalam beberapa operasi tempur saya selalu dilibatkan. Pada saat-saat operasi pembersihan G-30S/PKI di Jakarta, saya ikut bergabung dalam komando yang dipimpin Kol. Sarwo Edhie Wibowo (almarhum).

Setelah situasinegara pulih yang ditandai dengan lahirnya Orde Baru tahun 1966, oleh kesatuan saya ditugaskan belajar ke STT (Sekolah Tinggi Teologi) milik gereja Katolik yang terletak di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Di STI ini, selama 5 tahun (1966-1972) saya belajar, mendalami, mengkaji, dan diskusi tentang berbagai hal yang diperlukan sebagai seorang pendeta. Di samping belajar sejarah dan filsafat agama Kristen. STT juga memberikan kajian tentang sejarah dan filsafat agama-agama di dumia, termasuk studi tentang Islam.


Menjadi Pendeta.

Sambil tetap aktif d TNI-AD, oleh Gereja Protestan Indonesia saya ditugaskan menjadi Pendeta II di Gereja P***** (edited) di Jakarta Pusat, bertetangga dengan Masjid Sunda Kelapa. Di gereja inilah, selama kurang lebih 12 tahun (1972-1984) saya memimpin sekitar 8000 jemaat yang hampir 80 persen adalah kaum intelektual atau masyarakat elit.

Di Gereja P***** (edited) ini, saya tumpahkan seluruh pengabdian untuk pelayanan firman Tuhan. Tugas saya sebagai Pendeta II, selama memberikan khutbah, menyantuni jemaat yang perlu bantuan atau mendapat musibah, juga menikahkan pasangan muda-mudi yang akan berumah tangga.

Kendati sebagai pendeta, saya juga anggota ABRI yang harus selalu siap ditugaskan di mana saja di wilayah Nusantara. Sebagai perwira ABRI saya sering bertugas ke seluruh pelosok tanah air Bahkan, ke luar negeri dalam rangka tugas belajar dari markas, seperti mengikuti kursus staf Royal Netherland Armed Forces di Negeri Belanda. Kemudian, pada tahun 1969 saya ditugaskan untuk mengikuti Orientasi Pendidikan Negara-negara Berkembang yang disponsoni oleh UNESCO di Paris, Prancis.


Dilema Rumah Tangga

Kesibukkan saya sebagai anggota ABRI ditambah tugas tugas gereja, membuat saya sibuk luar biasa. Sebagaipendeta, saya lebih banyak memberikan perhatian kepada jemaat. Sementara,kepentingan pribadi dan keluarga nyaris tergeser. Istri saya, yang putri mantan Duta Besar RI di salah satu negara Eropa, sering mengeluh dan menuntut agar saya memberikan perhatian yang lebih banyak buat rumah tangga.

Tetapi yang namanya wanita, umumnya lebih banyak berbicara atas dasar perasaan. Karena melihat kesibukan saya yang tidak juga berkurang, ia bahkan meminta agar saya mengundurkan diri dan tugas-tugas gereja, dengan alasan supaya lebih banyak waktu untuk keluarga. Tenth saja saya tidak dapat menerima usulannya itu. Sebagai seorang "Pelayan Firman Tuhan" saya telah bersumpah bahwa kepentingan umat di atas segalanya.

Problem keluarga yang terjadi sekitar tahun 1980 ini kian memanas, sehingga bak api dalam sekam. Kehidupan rumah tangga saya, tidak lagi harmonis. Masalah-masalah yang kecil dan sepele dapat memicu pertengkaran. Tidak ada lagi kedamaian di rumah. Saya sangat mengkhawatirkan Angelique, putri saya satu-satunya. Saya khawatir perkembangan jiwanya akan terganggu dengan masalah yang ditimbulkan kedua orang tuanya. Oleh karenanya, saya bertekad harus merangkul anak saya itu agar ia mau mengerti dengan posisi ayahnya sebagai pendeta yang bertugas melayani umat. Syukur, ia mau mengerti. Hanya Angeliquelah satu-satunya orang di rumah yang menyambut hangat setiap kepulangan saya.

Dalam kesunyian malam saat bebas dan tugas-tugas gereja, saya sering merenungkan kehidupan ramah tangga saya sendiri. Saya sering berpikir, buat apa saya menjadi pendeta kalau tidak mampu memberikan kedamaian dan kebahagiaan buat rumah tangganya sendiri. Saya sering memberikan khutbah pada setiap kebaktian dan menekankan hendaknya setiap umat Kristen mampu memberikan kasih kepada sesama umat manusia. Lalu, bagaimana dengan saya?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu semakin membuat batin saya resah. Saya mencoba untuk memperbaiki keadaan. Tetapi, semuanya sudah terlambat. Istri saya bahkan terang terangan tidak mendukung tugas-tugas saya sebagai pendeta. Saya benar-benar dilecehkan. Saya sudah sampal pada kesimpulan bahwa antara kami berdua sudah tidak sejalan lagi.

Lalu, untuk apa mempertahankan rumah tangga yang sudah tidak saling sejalan? Ketika niat saya untuk "melepas" istri, saya sampaikan kepada sahabat-sahabat dekat saya sesama pendeta, mereka umumnya menyarankan agar saya bertindak lebih bijak. Mereka mengingatkan saya, bagaimana mungkin seorang pendeta yang sering menikahkan seseorang, tetapi ia sendiri justru menceraikan istrinya? Bagaimana dengan citra pendeta di mata umat? Begitu mereka mengingatkan.

Apa yang mereka katakan semuanya benar. Tetapi, saya sudah tidak mampu lagi mempertahankan bahtera rumah tangga. Bagi saya yang terpenting saat itu bukan lagi persoalan menjaga citra pendeta. Tetapi, bagaimana agar batin saya dapat damai. Singkatnya, dengan berat hati saya terpaksa menceraikan istri saya. Dan, Angelique, putri saya satu-satunya memilih ikut bersama saya.


Mencari Kedamaian

Setelah kejadian itu, saya menjadi lebih banyak melakukan introspeksi. Saya menjadi lebih banyak membaca literatur tentang filsafat dan agama. Termasuk kajian tentang filsafat Islam, menjadi bahan yang paling saya sukai. Juga mengkaji pemikiran beberapa tokoh Islam yang banyak dilansir media massa.

Salah satunya tentang komentar K.H. E.Z. Muttaqin (almarhum) terhadap krisis perang saudara di Timur Tengah, seperti diYerusalem dan Libanon. Waktu itu (tahun 1983), K.H.E.Z. Muttaqin mempertanyakan dalam khutbah Idul Fitrinya, mengapa Timur Tengah selalu menjadi ajang mesiu dan amarah, padahal di tempat itu diturunkan para nabi yang membawa agama wahyu dengan pesan kedamaian?

Saya begitu tersentuh dengan ungkapan puitis kiai dan Jawa Barat itu. Sehingga, dalam salah satu khutbah saya di gereja, khutbah Idul Fitni K.H. E.Z. Muttaqin itu saya sampaikan kepada para jemaat kebaktian. Saya merasakan ada kekagetan di mata para jemaat. Saya maklum mereka terkejut karena baru pertama kali mereka mendengar khutbah dari seorang pendeta dengan menggunakan referensi seorang kiai Tetapi, bagi saya itu penting, karena pesan perdamaian yang disampaikan beliau amat manusiawi dan universal.

Sejak khutbah yang kontroversial itu, saya banyak mendapat sorotan. Secara selentingan saya pemah mendengar "Pendeta Mandey telah miring." Maksudnya, saya dinilai telah memihak kepada salah satu pihak. Tetapi, saya tidak peduli karena yang saya sampaikan adalah nilai-nilai kebenaran.

Kekaguman saya pada konsep perdamaian Islam yank diangkat oleh KH. E.Z. Muttaqin, semakin menarik saya lebih kuat untuk mendalami konsepsi-konsepsi Islam lainnya. Saya ibarat membuka pintu, lalu masuk ke dalamnya, dan setelah masuk, saya ingin masuk lagi ke pintu yang lebih dalam. Begitulah perumpamaannya. Saya semakin "terseret" untuk mendalami, konsepsi Islam tentang ketuhanan dan peribadahan

Saya begitu tertarik dengan konsepsi ketuhanan Islam yang disebut "tauhid". Konsep itu begitu sederhana, lugas, dan tuntas dalam menjelaskan eksistensi Tuhan yang oleh orang Islam disebut Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sehingga, orang yang paling awam sekalipun akan mampu mencemanya. Berbeda dengan konsepsi ketuhanan Kristen yang disebut Trinitas. Konsepsi ini begitu rumit, sehingga diperlukan argumentasi ilmiah untuk memahaminya.

Akan halnya konsepsi peribadatan Islam yang disebut syariat, saya melihatnya begitu teratur dan sistematis. Saya berpikir seandainya sistemper ibadatan yang seperti ini benar benar diterapkan, maka dunia yang sedang kacau ini akan mampu di selamatkan.

Pada tahun 1982 itulah saya benar-benar mencoba mendekati Islam. Selama satu setengah tahun saya melakukar konsultasi dengan K.H. Kosim Nurzeha yang juga aktif di Bintal (Pembinaan Mental) TNI-AD. Saya memang tidak ingin gegabah dan tergesa-gesa, karena di samping saya seorang pendeta, saya juga seorang perwira Bintal Kristen dilingkungan TNI-AD. Saya sudah dapat menduga apa yang akan terjadi seandainya saya masuk Islam.

Tetapi, suara batin saya yang sedang mencari kebenaran dan kedamaian tidak dapat diajak berlama-lama dalam kebimbangan. Batin saya mendesak kuat agar saya segera meraih kebenaran yang sudah saya temukan itu.

Oh, ya, di samping Pak Kosim Nurzeha, saya juga sering berkonsultasi dengan kolega saya di TNI-AD. Yaitu, Dra. Nasikhah M., seorang perwira Kowad (Korps.Wanita Angkatan Darat) yang bertugas pada BAIS (Badan Intelijen dan Strategi) ABRI.

Ia seorang muslimah lulusan UGM (Universilas Gajah Mada) Yogyakarta, jurusan filsafat. Kepadanya saya sering berkonsultasi tentang masalah-masalah pribadi dan keluarga. Ia sering memberi saya buku-buku bacaan tentang pembinaan pribadi dan keluarga dalam Islam. Saya seperti menemukan pegangan dalam kegundahan sebagai duda yang gagal dalam membina rumah tangganya.

Akhirnya, saya semakin yakin akan hikmah dibalik drama rumah tangga saya. Saya yakin bahwa dengari jalan itu, Tuhan ingin membimbing saya ke jalan yang lurus dan benar. Saya bertekad, apa pun yang terjadi saya tidak akan melepas kebenaran yang telah saya raih ini.

Akhimya, dengan kepasrahan yang total kepada Tuhan, pada tanggal 4 Mei 1984 saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat dengan bimbingan Bapak K.H. Kosim Nurzeha dan saksi Drs. Farouq Nasution di Masjid Istiqial. Allahu Akbar. Hari itu adalah hari yang amat bersejarah dalam hidup saya. Han saat saya menemukan diri saya yang sejati.


Menghadapi Teror

Berita tentang keislaman saya ternyata amat mengejutkan kalangan gereja, termasuk di tempat kerja saya di TNI-AD. Wajar, karena saya adalah Kepala Bintal (Pembinaan Mental)Kristen TNI-AD dan di gereja, saya adalah pentolan.

Sejak itu saya mulai memasuki pengalaman baru, yaitu menghadapi tenor dan berbagai pihak. Telepon yang bernada ancaman terus berdening. Bahkan, ada sekelompok pemuda gereja di Tanjung Priok yang bertekad menghabisi nyawa saya, karena dianggapnya telah murtad dan mempermalukan gereja.

Akan halnya saya, di samping menghadapi teror, juga menghadapi persoalan yang menyangkut tugas saya di TNI AD. DGI (Dewan Gereja Indonesia), bahkan menginim surat ke Bintal TNT-AD, meminta agar saya dipecat dan kedinasan dijajaran ABRl dan agar saya mempertanggungjawabkan perbuatan saya itu di hadapan majelis gereja.

Saya tidak penlu menjelaskan secara detail bagaimana proses selanjutnya, karena itu menyangkut rahasia Mabes ABRI. Yang jelas setelah itu, saya menerima surat ucapan tenima kasih atas tugas-tugas saya kepada negara, sekaligus pembebastugasan dan jabatan saya di jajaran TNT-AD dengan pangkat akhir Mayor.

Tidak ada yang dapat saya ucapkan, kecuali tawakal dan ménerima dengan ikhlas semua yang tenjadi pada diri saya. Saya yakin ini ujian iman.

Saya yang terlahir dengan nama Abraham David Mandey, setelah muslim menjadi Ahmad Dzulkiffi Mandey, mengalami ujian hidup yang cukup berat. Alhamdulillah, berkat kegigihan saya, akhirnya saya diterima bekerja di sebuab perusahaan swasta. Sedikit demi sedikit kanin saya terus menanjak. Setelah itu, beberapa kali saya pindah kerja dan menempati posisi yang cukup penting. Saya pennah menjadi Manajer Divisi Utama FT Putera Dharma. Pernah menjadi Personel/General Affairs Manager Hotel Horison, tahun 1986-1989, Dan, sejak tahun 1990 sampai sekarang saya bekerja di sebuah bank terama di Jakarta sebagai Safety & Security Coordinator.

Kini, keadaan saya sudah relatif baik, dan saya sudah meraih semua kebahagiaan yang selama sekian tahun saya rindukan. Saya sudah tidak lagi sendiri, sebab Dra. Nasikhah M, perwira Kowad itu, kini menjadi pendamping saya yang setia, insya Allah selama hayat masih di kandung badan. Saya menikahinya tahun 1986. Dan, dan perikahan itu telah lahir seorarig gadis kedil yang manis dan lucu, namariya Achnasya. Sementara, Angelique, putri saya dari istri pertama, sampai hari ini tetap ikut bersama saya, meskipun ia masih tetap sebagai penganut Protestan yang taat.

Kebahagiaan saya semakin bertambah lengkap, tatkala saya mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama istri tercinta pada tahun 1989.

Magdalena

Aku Rindu Al-Quran setelah aku murtad

Print PDF
Magdalena, seorang wanita berusia 37 tahun sekarang, usia yang memang sudah tidak belia lagi dan tentunya dengan kematangan usia, maka munculah kematangan dalam hatinya untuk menentukan jalan hidupnya, dan terasa sangat disesalinya apa yang sudah dia sia siakan di sepanjang hidupnya selama ini, penuturannya menambah pengalaman baru buat saya, karena memang setiap orang yang dating konseling dengan saya membawa masalahnya masing masing, dan semoga Allah Subhana Wa Ta’ala senantiasa mencurahkan hidayah-Nya kepada setiap hamba-Nya, amin

Terlahir dari keluarga Muslim yang biasa saja dalam keseharian, dalam arti keluarga Muslim yang hampir kebanyakan di Indonesia, yang orang tuanya Muslim, memiliki 2 orang anak, anaknya sejak kecil di ikutkan ke TPA (Tempat Pengajian Al-Quran) di sebuah kota di Jawa tengah, hidupnya berjalan biasa saja pada awalnya, dan karena memang minimnya pengetahuan akan agama yang minim pada orang tuanya, maka Magdalena kecil hanya mendapatkan pendidikan agama seadanya dari TPA tempat dia belajar mengaji yaitu hanya cara membaca Quran, tanpa ada bimbingan akidah dan dasar dasar keimanan yang kuat, maka Magdalena kecil cenderung lebih suka bergaul dengan teman teman non Muslim, karena memang lingkungan tempat dia tinggal adalah mayoritas non-Muslim,
Sampai pada usia remaja, Magdalena mulai berani main ke tempat ibadat agama lain, dan memang juga karena tidak juga dilarang oleh orang tuanya, maka dia piker ini boleh, bahkan ikut dalam seremoni keagamaan, sampai akhirnya hal tersebut yang membuat dia berpikir bahwa semua agama adalah sama saja, hal ini pun diperjelas dengan Magdalena yang mulai puber dan memiliki pacar seorang dari non – Muslim, dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, akhirnya tidak terasa Magdalena sudah masuk kedalam keyakinan yang sangat jauh dari keadaannya sebagai Muslimah,
Dan akhirnya pada satu hari setelah lulus dari SMA, Magdalena memberanikan dirinya untuk berbicara dengan orang tuanya agar mengijinkan dia untuk merubah agamanya, sang ayah yang tadinya biasa saja akhirnya kaget dan tersentak dengan pengakuan dari anaknya, dan menentangnya dengan sangat keras, dimana akhirnya berkat bantuan pacarnya, Magdalena berhasil kabur dari rumah dan menumpang di rumah pacarnya tersebut, dan akhirnya berubahlah dia menjadi Murtad, keluar dari Islam, yang mana sebenarnya dia pun belum mengerti betul apa itu arti keluar dari Islam, karena memang juga karena cintanya yang sangat mendalam kepada lelaki ini,
Hari demi hari dilalui Magdalena dalam masa pembelajarannya, yang akhirnya dia menerima pinangan dari sang pacar untuk menjadi istrinya, dan dilakukanlah pernikahan secara catatan sipil, tidak melalui pernikahan agama, itupun dilakukan di luar negeri, yang katanya masih memperbolehkan pernikahan tanpa dasar agama sama sekali, dan menikahlah mereka tahun 2006 silam, dimana Magdalena sudah menginjak usia 32 tahun, dan dijalanilah rumah tangga barunya, dengan agama barunya tersebut,
Namun berjalannya waktu dan akhirnya sedikit demi sedikit mulai terbukalah tabiat masing masing, dan kejelekan yang selama pacaran tersembunyi dengan apik, mulai terkuak dan kelihatan, yang membuat magdalena menjadi mulai bertanya Tanya apakah ini benar jodohnya? Lalu bagaimanakah dia yang sudah menggiring aku kepada agama dia dan membuat aku berpindah agama, kenapa sekarang dia tidak mengajari aku lagi? Dan kemanakah jemaat jemaat agama dia yang dulu sangat antusias waktu mengetahui aku berpindah agama dan sangat menyemangati aku?
Sekarang, sang suami sudah mulai memainkan tangannya untuk memukul, dan sudah mulai mabuk mabukan, sudah mulai main perempuan, yak arena dalam agama yang baru ini memang tidak dilarang, tidak ada aturan yang jelas dalam mengatur pola hidup, tidak sebagaimana Islam sangat menjaga dan mengatur secara total kehidupan manusia mulai dari bangun hingga tidur, dan disinilah awalnya Magdalena mulai mengingat ingat kembali apa yang pernah dia pelajari dari kehidupan orang tuanya dulu, akur tentram sampai sudah tua,
Hingga suatu hari sang suami berkata akan menceraikan Magdalena, karena memang sudah tidak cantik lagi, dan sang suami sudah punya wanita idaman lain diluar sana yang lebih cantik dan seksi, dan bagai dihantam batu keras, Magdalena kehilangan pegangan dalam hidupnya, dia mencoba untuk mendatangi petinggi agama yang dia anut saat itu, keputusannya karena memang sudah tidak cinta maka apa boleh buat, lebih baik bercerai, dan dia coba pindah tempat ibadah pada agamanya saat itu, demi mencari ketenangan batin, ternyata tidak bisa di temuinya, dan akhirnya dia diusir dan harus kost sampai perkara cerainya diselesaikan di pengadilan, karena rumah itu memang milik suaminya, maka tidak ada hak lah atas dirinya, dan hal ini memang tidak diatur dalam aturan perceraian agamanya saat itu, sama sekali tidak ada penghargaan untuk wanita sama sekali pikir Magdalena, yang akhirnya dia menerima biaya hidup dan biaya kost yang diberikan suaminya untuk keluar dari rumah,
Terpuruk dalam keadaan yang sangat kelam, magdalena menjadi orang yang mengurung diri selalu dalam kamar kostnya yang kecil dan pengap, sering tidak mau makan, tidak bersosialisasi dengan teman kost yang lain, sampai suatu hari, teman sebelah kostnya sedang mengaji, membaca ayat suci Al-Quran, lembut dan perlahan, dan Magdalena akhirnya mencoba untuk mendengarkan, dan hatinya perlahan lahan mulai terasa kesejukan dari lantunan demi lantunan ayat suci Al-Quran yang dibaca oleh teman sebelah kamarnya tersebut, dan akhirnya Magdalena memberanikan diri untuk berkenalan dan meminta teman sebelah kamarnya tersebut untuk membacakan ayat tersebut diulang dan diulang, dan diulang pada bagian yang sama,
Setiap hari ditunggunya teman sebelah kamar kost nya tersebut sepulang kerja dan dimintakan untuk membacakan ayat yang sama dan dibaca ulang sampai akhirnya Magdalena bisa mengingatnya dan menirukannya dan membaca sendiri, dan hafal, dia merasakan kelegaan yang luar biasa, Tuhan telah mengangkat beban hidupku pikirnya, dan ini menjadi hal baru dalam hidupnya, sebuah penyegaran terhadap kelamnya masa dia meninggalkan Al-Quran, kelamnya dunia saat dia meninggalkan Islam, dan dirasakan ternyata Tuhan itu tetap ada dan terus menemaninya pada saat tidak ada satu orang pun yang memperdulikan dia, yaitu Tuhan Allah Subhana Wa Ta’ala,
Namun Magdalena mencoba hatinya, apakah dia akan rindu tidak pergi ke tempat ibadah agamanya sekarang dan tidak melantunkan sepenggal ayat Quran yang dia sudah hafal, dia mencoba satu minggutidak ke tempat ibadah agama dia, dan juga tidak melantunkan penggalan Quran, tidak ada hal aneh yang terjadi, hatinya biasa saja, dua minggu dia lakukan hal yang sama, namun sekarang ada kegelisahan tersendiri, hatinya selalu mengucap hafalan Quran yang dia coba untuk tidak diucapkan dalam dua minggu terakhir, sewaktu memasuki akhir minggu ketiga, akhirnya dia memang tidak rindu untuk ke tempat ibadahnya yang sekarang, akan tetapi dia lebih rindu dengan sepenggal bacaan Quran yang dia hafal, yang akhirnya membuat dia membuka computer di warnet, mencari tahu bagaimana Islam, bagaimana menjadi seorang Islam, dan bagaimana hidup sebagai Muslimah, yang akhirnya membawa dia kepada Mualaf.com dan akhirnya konseling dengan chatting lalu bertemu dengan Pembina mualaf wanita, sehingga antara wanita akan lebih mudah untuk terbuka, dan akhirnya sampailah kepada saya, dan beberapa Pembina lainnya.

Selamat Datang Saudaraku

Nur Setia Ningrum Perjalanan Panjang Menuju Hidayah

Print PDF
Dari lahir hingga dewasa, Nur Setia Ningrum menganut agama Kristen Katholik. Nama depan sebagai tambahan saat dibaptis juga tersandang di depan namanya, yaitu Maria Margareta Nur Setia Ningrum. Namun diusianya yang ke-25 hidayah Allah datang, hingga ia mengambil keputusan untuk masuk ke dalam agama Islam. Berikut sekilas kisah kehidupan dan keislaman Mbak Nur Setia Ningrum.
Nur Setia Ningrum lahir pada 26 Juni 1975 dari pasangan almarhum Bapak Suradhi dan Ibu Emiliana Suwarni. Bapak Suradhi penganut Islam sedang Ibu Suwarni penganut Katholik.

Pada mulanya Ibu Suwarni menganut agama Islam, kedua orang tuanya Islam dan seluruh saudaranya juga Islam, namun karena saat SMP bersekolah di Saverius, akhirnya ia berpindah agama menjadi Katholik.

Saat melangsungkan pernikahan dengan Almarhum Bapak Suradhi dengan tata cara Islam, namun tak lama kemudian Ibu Suwarni tetap menganut Katholik hingga kini. Dari perkawinan di atas dikaruniai 3 orang anak yang ketiganya menganut Katholik. Namun Alhamdulillah kini Mbak Nur telah menjadi muslimah.

Sejak lahir hingga menamatkan pendidikan di SMEA, Nur termasuk penganut Katholik yang taat. Ia juga sempat mengikuti krisma, sejenis "pendidikan" untuk menguatkan keimanannya dalam Katholik.

Selepas dari SMEA, dalam usia 19 tahun ia memberanikan diri untuk merantau ke Batam. Di sana ia bekerja di sebuah perusahaan elektronik yang menyediakan asrama bagi para pegawainya. Dan dari asrama inilah Nur mengenal dan pertama kali tertarik dengan Islam.

Para teman asrama yang beragama Islam sering mengadakan acara pengajian, ia tak berani untuk hadir, namun sering membantu mengurus konsumsi pengajian. Dan saat sibuk menyiapkan minuman dan hidangan itulah ia mengenal tentang Islam.

Setelah sekitar dua tahun di Batam, pada bulan September 1996 ia mendapat kabar bahwa ayah tercinta (yang menganut agama Islam) telah tiada. Kabar tersebut sangat membuatnya sedih. Sebagai anak wanita satu-satunya dan sekaligus anak tertua, ia sempat shock dengan cobaan tersebut.

Di saat sedang dirundung kesedihan, pada suatu hari sepulang dari kerja ia melihat banyak orang sedang berkumpul hingga memacetkan jalan. Dengan penasaran ia mencoba mendekati, untuk mengetahui penyebabnya. Ternyata saat itu dai kondang Zainuddin MZ sedang menyampaikan ceramah di sebuah masjid, dan hadirin yang mengikuti meluber hingga memacetkan jalan.

Saat mendekati lokasi, secara kebetulan Mbak Nur mendengar apa yang disampaikan oleh Zainudin tersebut. Dan kata-kata yang sangat menusuk hati hingga selalu diingatnya adalah, “Orang tua yang sudah meninggal bisa saja masuk ke dalam surga bila di doakan oleh anaknya yang sholeh. Anak yang sholeh adalah anak yang menganut agama Islam, taat, menjalankan sholat dengan baik …… bukan hanya sekedar Islam KTP".

Saat itu juga hidayah Allah masuk ke dalam lubuk hatinya, ia merasa bahwa jika ingin ayahnya masuk surga, maka ia harus menjadi anak yang sholehah yang selalu mendoakan ayahnya. Sebelum itu ia jarang berdoa dan kalaupun berdoa, ia merasa doanya tak dikabulkan Tuhan.

Ia sangat tertarik untuk masuk Islam, namun ia kebingungan bagaimana caranya dan kepada siapa ia akan bertanya? Saat dia mengutarakan keniatannya untuk masuk Islam kepada teman seasrama, mereka malah membuatnya takut. "Islam itu berat, kamu sudah siap belum". "Masuknya mudah, tetapi kamu harus menjalankan kewajiban-kewajiban, bukan hanya masuk Islam ……." Dan kata-kata sejenis yang membuatnya berkesimpulan, bahwa ia belum siap untuk memeluk agama Islam.

Sebenarnya keniatan yang ada di hatinya telah mantap, namun karena ucapan teman ia justru merasa belum siap. Padahal ia pernah bermimpi selama 3 malam berturut-turut. Di dalam mimpinya ia akan pergi ke gereja, namun sampainya justru ke masjid. Mulai saat itu ia juga merasa sangat syahdu apabila mendengar lantunan qashidah, bahkan sering sampai bulu romanya berdiri.

Pada awal tahun 2000, setelah enam tahun bekerja di Batam, Mbak Nur kembali ke Sragen. Saat di Sragen inilah ia merasa mendapatkan kejelasan dari apa yang selama ini mengganjal di hatinya. Berkat bimbingan Ustad Naim Mustafa, yang masih pamannya sendiri, akhirnya ia mengetahui dan merasa siap untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.

Akhirnya pada bulan Pebruari 2001, bertepatan dengan diadakannya acara selapanan di desa Siwalan, Mbak Nur mengikrarkan keislamannya di hadapan Al-Habib Syekh Asseqaf, Ustad Naim Mustafa, Ustad Thoyib dan para hadirin yang mengikuti acara selapanan.

Sebulan setelah memeluk Islam, Alhamdulillah Mbak Nur mendapatkan jodoh dan melangsungkan pernikahan, tepatnya pada tanggal 10 Maret 2001. Bapak Suparto, suami Mbak Nur termasuk jamaah Fosmil yang berprofesi sebagai petani melon.

Dari perkawinan pasangan di atas, kini mereka telah dikaruniai seorang putri yang bernama Falia Fitriyatin Nisa' yang telah berumur 8 bulan. Semoga perkawinan dan keluarga mereka serta keluarga kita semuanya diberkahi oleh Allah SWT.

"Setelah masuk Islam saya merasa tentram dan bisa mendoakan ayah saya', ucap Mbak Nur. Semoga ketentraman dan keislaman menyertai kita semua hingga akhir hayat. Dan khusus bagi ayah Mbak Nur, semoga Allah SWT mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya, melapangkan kuburnya, melipatgandakan pahalanya dan memasukkannya ke dalam surga tanpa hisab tanpa azab, amiiin.

Demikian sekilas kisah keislaman Mbak Nur Setia Ningrum, semoga pembaca dapat mengambil manfaat dan hikmahnya. (KotaSantri) (Mhs, seperti yang dituturkan langsung oleh Mbak Nur S.T./sumber swaramuslim.net)

Surat Untuk Anakku

Catatan hati seorang Ibu untuk anaknya..



Serasa seperti baru saja kemarin ketika aku memelukmu sewaktu kau masih seorang bayi..
Tetapi waktu mempunyai cara untuk melewati kita, dan tanpa sepengetahuan kita..
Aku menutup mataku sebentar saja, dan membukanya kembali untuk menemukan kau telah bertumbuh..


Aku merindukan hari-hari ketika kau mengucapkan kata-kata pertamamu dan langkah pertamamu dengan hati-hati..
Aku tidak pernah menyadari bahwa ketika kau seorang bayi,dan bagaimana kita akan menjadi sangat dekat seperti saat ini..
Aku bepikir bahwa kau adalah bayiku..
Aku berharap diriku telah menyimpan ketawamu di dalam botol ketika kau masih kecil, dan mengoleksi semua cetakan jemarimu di setiap kaca jendela..

" Waktu-waktu itu adalah waktu yang indah dan berharga.."


Dan begitu kau bertumbuh, bertumbuh juga lah rasa cintaku padamu..
Ketika aku masih muda, aku melimpahkan kepadamu setiap harapan yang kumiliki untuk masa depanmu..


Aku menginginkanmu untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan yang tidak pernah kunikmati..
Aku mau dirimu belajar dari kesalahan-kesalahanku..
Namun semuanya terlalu cepat, engkau sudah keluar dari lenganku yang dahulu memegangmu dengan sangat erat..


Kini engkau melepaskan tanganku dan kemudian menaruh lenganmu di pundakku..
Berdiri tegap untuk menunjukkan padaku sepe
rti apa kau sekarang dan membuatku menjadi bangga..

Ah.., semuanya terlalu cepat..
Hari-hari di masa kau masih kecil sudah datang dan pergi..
Namun kenangan-kenangan pada saat-saat tersebut sangatlah jelas di pikiranku seperti yang ada saat ini, dan engkau adalah anakku..

" Engkau selalu diterima di dalam pelukanku.."


Karena engkau tidak akan pernah menjadi terlalu dewasa atau terlalu besar untuk tetap berada dekat di hatiku..
Engkau sudah tumbuh menjadi segalanya, yang selalu diimpikan setiap orangtua..
" Dan, lebih dari segalanya, aku ingin kau tau bahwa aku bangga untuk mengatakan "Itu adalah anakku..! "

Met Lebaran