Bahan Kuliah Semester 1

Mata Kuliah :
1. Filsafat Administrasi
2. Pengantar Ilmu Sosial

Mohon maaf dipilah dan dipilih sendiri


1. PENGERTIAN ETIKA

a.       Dalam arti luas;
1.       Dalam bahasa Inggris “Ethics”
2.       Secara Etimologis dari bahasa Yunani “Ethica”
3.       Yang berarti cabang Filsafat mengenai nilai-nilai dalam kaitannya dengan perilaku manusia, apakah tindakannya itu benar atau salah, baik atau buruk;
4.       Dengan perkataan lain, Etika adalah Filsafat Moral yang menunjukkan bagaimana seseorang harus bertindak.
b.      Dalam arti semprit;
1.       Dalam bahasa Inggris “Ethic”
2.       Secara Etimologis berasal dari bahasa Lathin “Ethicus” atau bahasa Yunani “Ethicos” yang berarti himpunan asas-asas nailai moral.
c.       Definisi Etika, menurut Kenneth E. Andersen, Etika adalah suatu studi tentang nilai-nilai dan landasan bagi penera
d.      Pertanyaan, apakah etika membuat orang menjadi baik ?
1.       Etika hannya menunjukkan kepadanya baik buruknya perbuatan orang itu.
2.       Jadi etika turut mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik dalam arti kata melakukan kewajiban sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan sebagaimana mestinya.
Mengapa demikian, karena manusia hidup itu dalam  rentangan jaringan norma berupa peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan.

Bahan bacaan:
Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat, Suatu Studi Komunikologis, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 164-166.




2. ETIKA


      1.    Etika berasal dari bahasa Yunani  : Ethos, yang berarti kebiasaan atau watak.
      2.    Etika merujuk pada hal:
a.    Etika berkjenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh amnesia beserta pembenarannya dan dalam hal ini etika merupakan salah satu cabang filsafat.
b.    Etika merupakan pokok permasaalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia.
(Sumber: Wahyudi Kumorotomo, Etika Adminsitrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992, h. 7) 


3. TUJUAN ETIKA
 Tujuan Etika, adalah memberitahukan bagaimana kita dapat menolong manusia di dalam  kebutuhannya yang riil yang secara susila dapat dipertanggungjawabkan.
(Sumber: Wahyudi Kumorotomo, Etika Adminsitrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992, h. 23)

4.    GARIS BESAR LANDASAN ETIKA
a.    Naturalisme:
1.    Paha mini berpendapat bahwa system-sistem etika dalam kesusilaan mempunyai dasar alami, yaitu pembenaran-pembenaran hanya dapat dilakukan melalui pengkajian atas fakta dan bukan atas teori-teori yang sangat metafisis.
2.    Manusia pada kodratnya adalah baik, sehingga ia harus dihargai dan menjadi ukuran.
b.    Individualisme
1.    Emmanuel Kant, menekankan bahwa setiap orang bertanggung jawab secara individual bagi dirinya.
2.    Dampak positif dari individualisme adalah terpacunya prestasi dan kreativitas individu.
3.    Orang akan memiliki etos kerja yang kuat dan selalu ingin berbuat yang terbaik bagi dirinya.
4.    Dampak negative bahwa setiap orang akan mementingkan diri sendiri atau bersikap egosentris.
c.    Hedonisme
Titik tolaknya bahwa manusia menurut kodratnya selalu mengusahakan kenikmatan, yaitu bila kebutuhan kodrati terpenuhi, orang akan memperoleh kenikmatan sepus-puasnya.
d.    Eudaemonisme
1.    Dari bahasa Yunani, yaitu demon yang berarti roh pengawal yang baik, kemujuran atau keuntungan.
2.    Kepuasan yang sempurna tidak saja secara jasmani tetapi juga rohani.
3.    Mencita-citakan suasana batiniah yang disebut bahagia.
4.    Mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan kebaikan tertinggi (prima facie).
e.    Utilitarianisme
1.    Tokoh dari ajaran ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873).
2.    Ciri utamanya adalah pengenal kesusilaan adalah manfaat dari suatu perbuatan.
3.    Suatu perbuatan dikatakan baik jika membawa manfaat atau kegunaan, berguna artinya memberikan kita sesuatu yang baik dan tidak menghasilkan sesuatu yang buruk.
f.     Idealisme
a.    Paham ini timbul dari kesadaran akan adanya lingkungan normativitas,
b.     Bahwa terdapat kenyataan yang bersifat normative yang memberikan dorongan kepada manusia untuk berbuat.
c.    Keunggulan dari ajaran ini adalah pengakuannya tentang dualism manusia, bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani.
d.    Berdasrkan aspek cipta, rasa dan karsa yang terdapat dalam batin manusia.
e.    Dapat dibagi menjadi 3:
1.    Idealisme rasionalistik
 Bahwa dengan menggunakan pikiran dan akal, manusia dapat mengenal norma-norma yang menuntun perilakunya.
2.    Idealisme estetik
Bahwa dunia serta kehidupan manusia dpat dilihat dari perspektif “karya seni”.
3.    Idealisme etik

Pada intinya ingin menentukan ukuran-ukuran moral dan kesusilaan terhadap dunia dan kehidupan manusia.

Mortiner Jerome Adler, Siix grat Ideas, Mc Millan, New York, 1981, Ide Agung Etika, bahwa Etika, sebagai pedoman hidup masyarakat:
a.    Keindahan (beauty)
1.    Bahwa hidup dan kehidupan manusia itu sendiri seunggunnya merupakan keindahan.
2.    Dalam kehidupan social kita dapat menyaksikan bahwa orang lebih menyenangi cinta kasih, kerjasama antar manusia, gotong royong, kedamaian dan kehidupan yang berdasarkan saling membantu.
3.    Maka kasih saying, kedamaian dan kesejahteraan itu sesungguhnya merupakan unsure-unsur keindahan.
b.    Persamaan (equality)
1.    Hakekat kemanusiaan menghendaki adanya persamaan antara manusia yang satu dengan yang lain.
2.    Setiap manusia yang terlahir di bumi ini serta merta memiliki hak dan kewajiban masing-masing, tetapi sebagi manusia ia adalah sama atau sederajad.
c.    Kebaikan (goodness)
1.    Secara umum kebaikan berarti sifat atau karakterisasi dari sesuatu yang menimbulkan pujian. (Lacey, A.R, A Dictionary of Philosophy, Routledge & Kegan Paul, London, 1976)
2.    Perkataan baik (good) mengandung sifat-sifat seperti persetujuan, pujian, keunggulan, kekaguman, atau ketepatan.
3.    Ide agung kebaikan sangat erat kaitannya dengan hasrat dan cita manusia, karena pada umumnya manusia menghindari perbuatan-perbuatan buruk.
4.    Lawan idea gung kebaikan adalah keburukan (evil), yaitu jika perbuatannya merugikan diri sendiri, atau merugikan orang lain.
d.    Keadilan (justice)
1.    Keadilan ialah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya.
2.    Menurut Plato, keadilan merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat yang menciptakan dan menjaga kesatuannya.
3.    Rawls, keadilan meliputi 2 azas:
a.    Bahwa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar.
b.    Bahwa perbedaan social ekonomi hendaknya diatur sehingga memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang berkedudukan paling menguntungkan serta bertalian dengan jabatan atau kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.
(John Rawls, A Theory of Justice, Harvad University Press, Canbridge, 1971).
 e.    Kebabasan (liberty)
1.    Keleluasaan untuk bertindak  atau tidak bertindak berdasarkan pilihan-pilihan yang tersedia bagi seseorang.
2.    Kebebasan muncul dari doktrin, bahwa setiap orang memiliki hidupnya sendiri serta mamiliki hak untuk bertindak menurut pilihannya sendiri kecuali jika pilihan-pilihan tindakan tersebut melanggar kebebasan  yang sama dari orang lain.
3.    Itulah sebabnya, hukum sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan tetapi justru untuk menjamin kebebasan itu sendiri (Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia Jakarta, 1987, h. 116-118).
4.    Contoh, suatu missal Walikota memutuskan suatu Kebijakan, terus gagal, maka dialah yang pertama-tama mempertanggung jawabkan kegagalan tersebut, mengapa ?
5.    Karena, kebebasan manusia mengandung pengertian:
a.    Kemampuan untuk menentukan diri sendiri;
b.    Kesanggupan untuk mempertanggung jawabkn perbuatan;
c.    Syarat-syarat yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan pilihan-pilihannya beserta konsekwensi dari pilihan itu.
f.     Kebenaran (truth)
1.    Ide kebenaran biasanya dipakai dalam pembicaraan mengenai logika ilmiah, sehingga kita mengenal kriteria kebenaran dalam berbagai cabang ilmu, semisal matematika, biologi, sejarah dan juga filsafat.
2.    Namun ada pula kebenaran mutlak yang hanya dapat dibuktikan dengan keyakinan bukan dengan fakta, yang ditelaah dengan Ilmu Agama.

Sumber: Disarikan dari Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, h. 6 – 42.


5. ETIKA BERTENS



Menurut Bertens, Etika itu:
     1.    Etika, bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya.
     2.     Etika, juga berarti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud adalah kode etik.
      3.    Etika mempunyai arti: ilmu tentang apa itu yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan etis (asas dan nilai tentang yang baik dan buruk) begitu saja diterima d
Alam suatu masyarakat-sering kali tanpa disadari-menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Sumber:
Bertens, K, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, h. 4-7.



6.  ETIKA DAN MORAL



Etika
     1.       Dalam konteks ilmiah Etika, berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu “Ethos”,
     2.       Dalam  bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir.
     3.       Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan.
     4.       Jadi Etika adalah berarti ilmu tentang apa yang baisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan;

Moral
      1.       Kata yang cukup dengan “etika” adalah ‘moral”;
      2.       Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988 adalah “mores” , dipakai dalam arti yang sama;
      3.       Jadi etimologi kata “etika” sama dengan kata “moral”;  

Sumber:
Bertens, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm.  3-5.



7. ETIKA DAN ETIKET


ETIKA
Etika diartikan moral, sedangkan Etiket berarti sopan santun;
Dalam bahasa Inggris Ethics dan Etiquette, dipandang dari artinya memang dekat satu sama lain.
Etika dan Etiket, menyangkut perilaku manusia, jadi dalam hewan tidak dikenal kata itu;
Etika dan Etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

ETIKET
      1.       Menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia;
      2.       Menunjuk cara yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu;
      3.       Misalnya:
Jika kita menyerahkan sesuatu pada pimpinan dengan tangan kiri, kita dianggap melanggar etiket
      4.       Berlaku  bagi setiap pergaulan
      5.       Memandang etiket itu hanya dari segi lahiriahnya saja, sedangkan etika memandang dari segi yang mendalam.

Sumber:
Bertens, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm.  8-11.



 8. ETIKA DESKRIPTIF
 
      1.        Moral Melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan;
      2.       Mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu, dalam periode sejarah dan sebagainya;
      3.       Karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak member penilaian;

Sumber:
Bertens, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm.  15-16.




9. HAK ASASI MANUSIA DALAM KEPEMIMPINAN

Hak Asasi Manusia  adlah hak sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal  dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.

Sumber;
Disarikan dari Tap MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 dan Unesco 1999.



 10. ETIKA NORMATIF



1.       Bersifat preskriptif = memerintahkan atau menentukan benar dan tidaknya suatu tingkah laku atau anggapan moral.
Untuk itu ia mengadakan argumentasi-argumentasi, jadi ia mengemukakan alas an-alasan mengapa suatu tingkah laku harus disebut baik atau buruk dan mengapa suatu anggapan moral dapat dianggap benar atau salah.
Pada akhirnya argumentasi-argumentasi itu akan bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak dapat ditawar-tawar.
2.       Secara singkat dapat dikatakan, etika normative bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan dalam praktek.
3.       Etika normative dibagi
a.       Etika Umum
1.       Apa itu norma etis ?
2.       Jika banyak norma etis, bagaimana hubungan satu dengan yang lain ?
3.       Mengapa norma moral mengikat kita ?
4.       Apa itu nilai dan apakah kekhususan nilai moral ?
5.       Bagaimana hubungan tanggung jawab manusia dengan kebebasan ?
6.       Dapat dipastikan bahwa manusia sungguh-sungguh bebas ?
7.       Apakah yang dimaksud dengan hak dan kewajiban, dan bagaimana keterkaitan satu dengan yang lain  ?
8.       Syarat-syarat mana yang harus dipenuhi agar manusia dapat dianggap sungguh-sungguh baik dari moral ?
9.       Dst.
b.      Etika khusus
1.       Berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wialayah perilaku manusia yang khusus.
2.       Primis normative dikaitkan dengan premis factual.
3.       Memiliki tradisi panjang dalam sejarah fiulsafat moral.
4.        Yang pada akhirnya disebut etika terapan (epplied ethics).

Sumber:
Bertens, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm.  17-19


11. ETIKA PUBLIK



Latar Belakang Etika Publik

Etika Publik mulai serius dibahas setelah skandal “Watergate”, skandal ini memicu pengesahan “The Ethics in Government Act of 1978”, sejak itu orang menggunakan istilah “Etika Publik” karena focus pada “pelayanan publik”.

Dalam tanggung jawab pelayanan publik, integritas pribadi itu menjadi dasar integritas publik dengan dua modalitanya, yaitu akuntabilitas dan transparansi.

Jadi “Etika Publik” berawal dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi.

Konflik kepentingan, korupsi dan birokrasi berbelit-belit, akan melemahkan komitmen pejabat publik pada nilai-nilai etika .

Korupsi menghakibatkan pejabat mengabaikan kepentingan publik dan lebih memperhatikan kepentingan diri atau kelompoknya dan buruknya pelayanan publik.

Etika publik menekankan bukan hanya kode etik atau norma, namun terutama dimensi refleksi.

Etika publik mau membantu dalam mempertimbangkan pilihan sarana kebijakan publik dan sekaligus sebagai alat evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya.

Maka focus diarahkan ke modalitas  etika, yaitu bagaimana menjembatani jurang antara norma moral (apa yang seharusnya dilakukan) dan tindakan factual.

Keprihatinan etika publik pada modalitas membedakan diri dengan ajaran-ajaran saleh atau moral yang lain.

Sehingga Etika Publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik.

Sumber:
Haryatmoko, Etika Publik, Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Kompas Gramedia, 2011.



12. ETIKA POLITIK 


Etika Politik

Etika Politik didefinisikan sebagai “upaya hidup baik (memperjuangkan kepentingan publik) untuk dan bersama orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang lebih adil (P. Ricoeur, 1990)
Tiga dimensi etika politik menurut B. Sutor, 1991: 86) adalah:
a.       Tujuan (policy);
b.      Sarana (polity);
c.       Dan aksi politik (politics) 

Sumber:
Haryatmoko, Etika Publik, Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Kompas Gramedia, 2011, hlm. 4-5


13. MENGAPA KITA PERLU ETIKA



Ditinjau dari sudut Ilmu Komunikasi seorang mahasiswa / alumni prodi Ilmu Komunikasi adalah seorang komunikator yang profesional baik dari sisi individual maupun organisatoris, karena apa yang ia lakukan menyangkut nilai diri, profesi dan organisasinya / almamaternya. 

Oleh karena itu mahasiswa atau alumni Ilmu Komunikasi, adalah seorang profesional individual maupun organisasional (professional organisasional), maka ia harus menjadi sumber kredibilitas (source credibility), maknanya ia harus menjadi seorang profesional, ia harus dapat dipercaya, beritikad baik, serta bersikap dan berperilaku terpuji karena menyangkut penilaian masyarakat, maka dari itu dalam organisasi professional disusunlah kode etik (code of ethics), misalkan kode etik jurnalistik, kode etik kedokteran, kode etik hubungan masyarakat, dll.

Tujuan diadakannya kode etik tersebut ialah agar para anggota organisasi bersangkutan mempunyai pedoman untuk bersikap dan berperilaku dalam rangka menjaga citra organisasi.

Bahan bacaan:
Onong Uchjana Effendy, Hubungan Masyarakat, Suatu Studi Komunikologis, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm. 164.



14. DEFINISI ETIKA PUBLIK



Definisi Etika Publik dan Lingkungannya

Makna “etos” adalah suatu cara berpikir dan merasakan, cara bertindak dan bertingkah laku yang member ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok.

Etika dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral.

Jadi “etika” lebih merupakan wacana normatif (tidak selalu harus berupa perintah yang mewajibkan, karena bias juga kemungkinan bertindak) yang membahas tentang baik/jahat.

Etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarahkan ke kebahagiaan dan kebijaksanaan.

Biasanya etika lebih dipahami sebagai refleksi atas baik/buruk, benar/salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau yang seharusnya dilakukan.

Tekanan etika yang diletakkan pada aspek reflektif dalam uapaya mencari bagaimana bertindak (bukan hanya pada masalah kepatuhan pada norma) menjadi alas an utama mengapa istilah “etika publik” lebih cocok dipakai.

Etika publik adalah refleksi tentang standar / norma yang menentukan baik / buruk, benar / salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam  rangka menjalankan  tanggung jawab pelayanan publik.

Etika publik mengatur terutama political society, semua orang yang terlibat di dalam lembaga-lembaga Negara.

Kalau objeknya adalah pelayanan publik, etika publik seharusnya juga menjadi dasar kegiatan civil society, lembaga swadaya masyarakat, swasta, asosiasi nir laba, para pemimpin organisasi social, dst.


Sumber:
Haryatmoko, Etika Publik, Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Kompas Gramedia, 2011, hlm. 1-4




15. MORAL DAN IMORAL



Amoral dan Imoral
      1.       Amoral oleh Concise Oxford Dictionary, tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis, non moral;
      2.       Dalam kamus yang sama Imoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk;
      3.       Amoral, Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dijelaskan tidak bermoral, tidak berakhlak.

Sumber:
Bertens, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm.  7-8.




16. ISME ISME DALAM ETIKA


Isme-isme Dalam Etika:

Isme-isme Dalam Etika:
      1.       Egoisme;
      2.       Deontologisme;
      3.       Utilitarianisme;
      4.       Pragmatism;


Sumber:
Muhamad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 183-185.




17. METE ETIKA



Meta Etika
      1.       Awalan meta (dari bahasa Yunani) mempunyai arti “melebihi”, melampaui.
      2.       Bergerak pada taraf lebih tinggi dari pada perilaku etis, yaitu pada taraf bahasa etis atau bahasa yang kita pergunakan dibidang moral;
      3.       Mempelajari logika khusus dari ucapan-2 etis;

Sumber:
Bertens, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm.  19-20.




18. KERUNTIUHAN ETIKA



Sistem Nilai Runtuh dan Etika di abaikan

Meski wacana gerakan anto korupsi terus ditegakkan, praktik korupsi terus merajalela, bahkan melibatkan lingkaran kekuasaan elite politik.

Selain pengakan hokum lemah,  semua itu terjadi akibat bangsa ini kehilangan system nilai baik.

Sistem nilai bangsa ini sudah ambruk dan kehilangan wibawa akibat pergeseran nalar dan interaksi dengan budaya global.

Sistem nilai itu mencakup orientasi hidup, kejujuran, kesetiaan, kebenaran, budi, kesadaran publik, atau komitmen. Jika dulu pasti, kini nilai-nilai itu sangat relative.

Dengan system nilai yang tidak kuat, perilaku masyarakat menjadi goyah dn lahir sitem nilai baru yang kian permisif.

Soal sukses, misalnya, kini sangat dimaknai secara material, dihitung dari karier, jabatan, atau gaya hidup.
Budaya permisif kian subur akibat masyarakat mementingkan simbul, tampilan.


Sumber: Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Univ. Parahyangan, Bandung, Kompas, Sabtu, 26 Nopember, 2011, h. 1.



19. PERAN ETIKA DALAM DUNIA MODERN



Peranan Etika dalam Dunia Modern

      1.       Setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis;
      2.       Dalam masyarakat yang homogen  dan agak tertutup masyarakat tradisional, katakanlah – nilai-nilai dan norma-norma itu praktis tidak pernah dipersoalkan;
      3.       Dalam keadaan seperti itu secara otomatis orang menerima nilai dan norma yang berlaku, individu-individu dalam masyarakat itu tidak berfikir lebih jauh.

Tetapi nilai-nilai dan norma-norma etis yang dalam masyarakat tradisional umumnya tinggal  
      4.       Tidak dapat diragukan lagi agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma yang paling penting;
      5.       Kebudayaan merupakan sumber yang lainnya, walaupun perlu dicatat bahwa dalam hal ini kebudayaan seringkali tidak dapat dilepaskan dari agama.
      6.       Juga nasionalisme atau kerangka hidup bersama dalam suatu Negara atau daerah, mudah menjadi sumber nilai atau norma.
      7.       Di Indonesia pun sudh sejak dulu terdapat variasi kecil-kecilan dipelbagai daerah, sejauh menyangkut nilai dan norma;

Misalnya dalam bidang pergaulan antara muda-mudi dan hubungan antara orang tua dan anak.

      8.       Bila seorang muda-mudi menjadi mahasiswa dank arena untuk yang pertama kalinya dalam hidupnya keluar dari naungan keluarga serta ketertutupan daerahnya, ia dapat merasakan perbedaan itu.

Perbedaan bias dirasakan lebih tajam lagi, bila perpindahan itu bukan saja dari daerah ke daerah lain, tetapi sekaligus juga dari daerah pedesaan ke kota besar.

Apalagi, bila seorang muda disekolahkan keluar negeri. Bias samapai terkena  “cultural shock”.

      9.       Tiga ciri yang menonjol situasi etis dalam dunia modern:
a.       Pertama;
Kita menyaksikan adanya pluralisme moral, baik dalam masyarakat yang homogeny atau yang heterogen;
b.      Kedua;
Sekarang timbul banyak masalah etis baru yang dulu tidak terduga;
c.       Ketiga;
Dalam dunia modern tampak semakin jelas juga kepedualian  
      10.   Ciri lain yang menandai situasi etis di zaman kita adalah timbulnya masalah-masalah etis baru, yang terutama disebabkan oleh perkembangan pesat dalam ilmu pengatahuan dan teknologi,  khususnya ilmu-ilmu biomedis.

Sumber:
Bertens, Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hlm.  29-32.





20. ARTI SOSIOLOGI

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antar manusia yang menguasahi kehidupan itu.

Ia mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serba berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang member sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.

Untuk menganalisa cara hidup bergaul manusia itu, maka perlu juga dipelajari sifat-sifat biologi manusia seperti perasaan lapar, sakit, takut, kebutuhan akan seks dengan perbedaan-perbedaannya daripada di dunia hewan, yang lenih banyak diatur oleh peradaban masyarakatnya.

Karena sosiologi ini mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat maka dengan sendirinya ia meliputi atau sedikitnya rapat bertalian dengan ilmu-ilmu masyarakat lainnya seperti hokum, ekonomi, ilmu jiwa, antropologi, dan lainnya.

Singkatnya, sosiologi ini adalah ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau masyarakatnya (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan atau masyarakatnya), dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan yang meliputi segala kehidupannya.

Sumber:
Hasan Shadily, 1984, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 1, 2.





21. CIRI KEPRIBADIAN “BIG FIVE”
      (Five-Factor Model / FFM)

       CIRI 5 FAKTOR YANG DIDASARKAN PADA TEORI KEPRIBADIAN

Ciri Utama:
      1.       Kesungguhan;
      2.       Stabilitas emosi;
      3.       Sifat menyenangkan;
      4.       Ekstraversi;
      5.       Terbuka pada pengalaman;

Sumber: Fred Luthans, 2006, Perilaku Organisasi, Penerbit ANDI, Yogyakarta, hlm. 233-234.



22. DESKRIPSI CIRI KEPRIBADIAN “BIG FIVE”
      (Five-Factor Model / FFM)

KESUNGGUHAN

      1.       Dapat diandalkan;
      2.       Pekerjaan keras;
      3.       Teratur;
      4.       Disiplin diri;
      5.       Gigih;
      6.       Bertanggung jawab.

STABILITAS EMOSI
      1.       Tenang;
      2.       Aman;
      3.       Senang;
      4.       Tidak khawatir.

SIFAT MENYENANGKAN

      1.       Kooperatif;
      2.       Hangat;
      3.       Perhatian;
      4.       Watak baik;
      5.       Sopan;
      6.       Dapat dipercaya.

EKSTRAVERSI

      1.       Dapat bersosialisasi;
      2.       Terbuka;
      3.       Banyak bicara;
      4.       Asertif;
      5.       Suka berteman.

TERBUKA PADA PENGALAMAN

      1.       Ingin tahu;
      2.       Intelek;
      3.       Kreatif;
      4.       Terpelajar;
      5.       Sensitive;
      6.       Fleksibel;
      7.       Imajinatif.

Sumber: Fred Luthans, 2006, Perilaku Organisasi, Penerbit ANDI, Yogyakarta, hlm. 234.




   

23. CIRI KHAS KEBUDAYAAN



Ciri-ciri khas kebudayaan yang biasanya dimiliki oleh sekelompok manusia, suku dan sebagainya yang menempati suatu daerah geografis  turun temurun, biasanya tampak pada:



      1.       Pakaian, perumahan, alat-alat yang mereka pakai se-hari-hari dan sebagainya, yang berbeda  dari pada yang terdapat di kebudayaan lain;

      2.       Bahasa mereka yang di pakai di lingkungan mereka yang akhirnya merupakan bahasa khas seperti Jawa, Sunda, dan sebagainya, juga dialek-dialek atau percampuran-percampuran dari bahasa-bahasa itu yang terdapat di daerah-daerah perbatasan seperti Cirebon, Banyuwangi dsb;

      3.       Karena hanya terdapat perkawinan di antara mereka-mereka itu saja dan tiadanya/kurangnya percampuran dari luar, corak-corak khas mengenai bentuk muka, perawakan dan sebagainya bias terjadi yang bias menjadi ciri khas ragawi dari bangsa atau golongan tertentu seperti mata sipit, hidung mancung, rambut keriting dan sebagainya.

Sumber:
Hasan Shadily, 1984, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
  
 




24. DASAR PEMBENTUKAN KELOMPOK

Pembentukan Kelompok didasarkan pada:
      a.       Keyakinan bersama akan perlunya pengelompokan dan tujuan (shared faith);
      b.      Harapan yang dihayati oleh anggota-anggota kelompok;
      c.       Ideology yang mengikat semua anggota;

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.

                                           




25. EMERGENT PROPERTIES


Emergent Properties

Emergent Properties adalah elemen kebaharuan yang muncul dari interaksi keseluruhan komponen system, yang penyebab kemunculannya tidak bias dilacak ke dalam komponen-2 sistem tertentu.

Sumber:
M Husni Muadz, 2014, Anatomi Sistem Sosial, Rekonstruksi Normalitas, Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem, Institut Pembelajaran Grlar Hidup, Mataram, hlm 3.



26.  FAKTOR KELANGSUNGAN HIDUP KELOMPOK

Kelangsungan hidup dari kehidupan kelompok dimungkinkan oleh adanya beberapa factor, khusunya psikologik:
      a.      Takut dicela oleh anggota lainnya;
      b.      Kebutuhan/perasaan memerlukan kelompok untuk kelangsungan perasaan aman darinya;

Factor-faktor sosiologik lainnya yang menentukan ialah:
      a.       Adanya norma kelompok (group morm);
      b.      Frekuensi kemomunikasi antar anggota kelompok;
      c.       Kelompok sebagai tempat perwujudan dari kebutuhan;

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.




27. FASE PERLUASAN KELOMPOK

Dilihat dari proses pembentukan masyarakat luas dari kelompok aslinya terjadilah bentuk-bentuk dan fase perluasan kelompok sbb:
      a.       Tingkat kelompok kecil (group level);
      b.      Tingkat community level (local);
      c.       Tingkat regional (regional level);
      d.      Tingkat nasional (societal level);
      e.      Intra-planetery society (masyarakat dunia)

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.




28. FUNGSI STARTIFIKASI SOSIAL

Menurut Kingsley Davis dan Wilb Moore, fungsi-fungsi dari stratifikasi social ialah sbb:

      1.       Stratifikasi social menjelaskan kepada seseorang “tempat”nya dalam masyarakat sesuai dengan pekerjaan, menjelaskan kepadanya bagaimana ia harus menjalankannya dan bagaimana efek serta sumbangannya kepada masyarakatnya;

      2.       Karena peranan dari setiap tigas dalam setiap masyarakat berbeda-beda dengan seringkali adanya tugas yang kurang dianggap penting oleh masyarakat (karena beberapa pekerjaan meminta pendidikan dan keahlian terlebih dahulu) maka berdasarkan perbedaan persyaratan dan tuntutan atau prestasi kerja, masyarakat biasanya member imbalan kepada yang melakukan tugas dengan baik dan sebaliknya “menghukum” yang tidak atau kurang baik. Dengan sendirinya terjadilah distribusi penghargaan, hal mana menghasilkan dengan sendirinya pembentukan stratifikasi social;

      3.       Penghargaan yang diberikan biasanya bersifat ekonomik, berupa pemberian status social atau fasilitas-fasilitas yang karena distribusinya berbeda (sesuai dengan pemenuhan persyaratan dan penilaian terhadap pelaksanaan tugas) membentuk struktur social.

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.








29. GOLONGAN PASANGAN

Pembagian golongan pasangan menurut Von Wiese adalah sebagai berikut:

      a.       Pasangan yang sesungguhnya:
1.       Pasangan menurut seks: suami – istri;
2.       Pasangan menurut keturunan: anak-orang tua;
3.       Pasangan persahabatan;

      b.      Pasangan yang tidak sungguh:
1.       Hakim-terdakwa;
2.       Perwira-prajurit;
3.       Sopir-penumpang;
4.       Dsb.

Sumber:
Hasan Shadily, 1984, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.






30. HUBUNGAN

Von Wiese mengadakan empat macam hubungan, yaitu:

      1.       Hubungan yang sesungguhnya,
Yaitu hubungan di mana motif (=alas an atas nama suatu tindakan diambil) dan penyelenggaraan atau tindakan bersatu padu, artinya tidak bertentangan. 

      2.       Hubungan yang tidak sesungguhnya,
Yaitu hubungan di mana motif dan tindakan bertentangan.

      3.       Hubungan terbuka,
Hubungan yang tidak tertutup oleh hubungan lain, atau tiada terdapat hunungan lain yang disembunyikan.

      4.       Hubungan berkedok,
Yaitu hubungan yang sifatnya tidak tegas karena tertutup dengan adanya hubungan lain, sehingga menutup maksud hubungan yang sebenarnya.

Sumber:
Hasan Shadily, 1984, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.







31. INDIKATOR PENILAIAN LAPISAN MASYARAKAT

Beberapa indicator tentang penilaian subyektif sesorang mengenai lapisan masyarakatnya ialah:
      a.       Bentuk rumah:
Ukuran, kondisi perawatan rumah, tata kebun;

      b.      Wilayah tempat tinggal atau lingkungannya:
Karena dianggap bahwa wilayah tempat tinggal menentukan status;

      c.       Pekerjaan atau profesi:
 Pekerjaan dan profesi yang dipilih seseoarng menunjukkan keinginan (identifikasi diri) dengan lapisan masyarakat tertentu; 

      d.      Sumber pendapatan:
Menentukan status social seseorang.
Sehubungan dengan ini perlu dijelaskan bahwa bukan jumlah uang yang diterima yang menentukan melainkan status yang dinikmati melalui sumber itu.

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.










32. ISTILAH

      1.       Pembagian sosiologi, sosiologi secara umum dibagi dalam sosiologi pedesaan (rural sociology) dan sosiologi kota (urban sociology);
  
      2.       Antropologi (anthropology) mempelajari hasil aksi-reaksi manusia hidup bersama dalam masyarakatnya yang disebut kebudayaan,…
 
      3.       Etnologi (ethnology) adalah pelajaran atau penelitian mengenai adat istiadat dalam kebudayaan sesuatu bangsa, dinamai juga antropolgi-sosial (social anthropology). Antropologi semacam ini disebut Cultural anthropology;

      4.       Etnografi (ethnography) adalah etnologi, kali ini meliputi bermacam-macam bangsa sehingga mengandung arti pelajaran memperbandingkan adat-adat antara berbagai bangsa atau golongan.

       5.       Sosiografi (sociography) adalah sosiologi yang memperbandingkan sosiologi lebih dari satu bangsa.

      6.       Arkeologi (archeology) adalah ilmu yang mempelajari adat-kebudayaan golongan atau bangsa yang silam;
  
      7.       Psikologi social (social psychology) atau ilmu jiwa social adalah pelajaran hubungan manusia di mana eksperimen-eksperimen berdasar pertemuan antara sosiologi, ilmu jiwa, psikiatri (psychiatry) dan antropologi;
  
      8.       Gemeinschaft atau persekutuan hidup, di mana orang-orang memelihara hubungan berdasarkan keturunan atau kelahiran, berdasarkan rumah tangga dan keluarga serta pula famili dalam arti yang seluas-luasnya yang selalu menunjukkan adanya hubungan yang erat di antara anggotanya.
  
      9.       Gesellschaft, atau dapat kita terjemahkan: perkongsian hidup.
-          Sejak lahir ada di sana;
-          Suka dan duka dialami bersama dengan desanya;
-          Dalam anggotanya terdapat orang luar;
-          Tiap anggota hanya bergerak untuk kepentingan sendiri;
-          Tindakannya diambil bilamana ada keuntungannya;
          

Sumber:
Hasan Shadily, 1984, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.




33. KEHIDUPAN KELOMPOK

Keuntungan dari suatu kehidupan kelompok sekunder ialah lebih memperlihatkan adanya unsure-unsur:
      1.       Obyektif;
      2.       Tidak terlalu erat;

Sebaliknya segi negatifnya ialah:
      1.       Hilangnya landasan untuk menjamin kerjasama bersama;
      2.       Kurangnya loyalitas dan dedikasi anggota-anggota terhadap kelompok-kelompoknya;

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.





34. KEKACAUAN STUDI SOSIAL


Lapangan studi social ini sudah lama sekali dalam keadaan kacau, terutama menyangkut tiga hal:
      1.       Pertentangan dalam definisi;
      2.       Fungsi yang tumpang tindih;
      3.       Kekaburan dalam landasan filosofi;
  
Dalam hal definisi studi-studi ilmu social telah diberi batasan sebagai:
      1.       Ilmu social;
      2.       Pelayanan social;
      3.       Sosialisme;
      4.       Pemikiran golongan sayap kiri radikal;
      5.       Pembaharuan social;
      6.       Kurikulum terpadu;
      7.       Pembaharuan kurikulum; dan
      8.       Sebagai pembaharu pendidikan anak.

Unsure kebenaran memang dapat kita jumpai dalam masing-masing konsep tadi.

Sumber:
Buchari Alma, Harlasgunawan, 1987, Hakekat Dasar Studi Sosial, The Nature Of Social Studies, Penerbit Sinar Baru, Bandung.





35. KELOMPOK KEPENTINGAN

Klasifikasi kepentingan individu, menurut Lasswell dan Kaplan serta Friedrich, yaitu:
      1.       Kelompok kepentingan (interst groups);
      2.       Kelompok kepentingan khusus (special interst groups);
      3.       Kelompok kepentingan umum (general interst groups).

Jenis kepentingan kelompok:
      1.       Principled intersts (kepentingan utama);
      2.       Expediency interests (kepentingan diri sendiri).

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.





36 KELOMPOK PRIMER

Menurut Samuel Stouffer fungsi dari kelompok promer ialah membantu individu dalam perkembangan dan pendewasaannya dan mempunyai sifat:
      1.       Member bantuan motivasi dan landasan moral kepada anggota;
      2.       Kelompok mempunyai nilai praktika;l untuk individu;
      3.       Loyalitas dapat menyebabkan adanya hubungan erat dan bantuan dalam ikatan kelompok;

Kelompok primer mempunyai keuntungan untuk individu, yaitu karena:
      1.       Menunjang sifat-sifat baik manusia dan menolong menghindari fifat lemahnya memberikan kekuatan dan dorongan kepada individu;
      2.       Sebaliknya mempertebal ketergantungan individu dari kelompok;
      3.       Menyerap individu dan kepribadiannya dalam kehidupan kolektif;
      4.       Memperlihatkan reaksi yang didasarkan pada perasaan.

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.








37. KELOMPOK TIDAK RESMI

Kelompok tidak resmi (informal group) menurut Joseph Gitter, memperlihatkan gejala:
      1.       Norma dari organisasi resmi mempengaruhi kelompok tidak resmi (secara langsung maupun tidak langsung);
      2.       Apabila terdapat pertentangan antara organisasi resmi (yang biasanya lebih besar dan luas dari kelompok tidak resmi), norma kelompok resmi yang berlaku (juga untuk umpamanya, masalah produksi dll);
      3.       Apabila kelompok tidak resmi tidak terbentuk sebagai reaksi dan oposisi terhadap organisasi resmi, maka kelompok tidak resmi menunjang pekerjaan dari organisasi resmi;
      4.       Anggota-anggota dari kelompok tidak resmi mengalami keserasian dengan menitik beratkan kepentingan pribadi kelompok tidak resminya;
      5.       Terbentuknya kelompok tidak resmi akan mengakibatkan terbentuknya pemimpin yang tidak resmi pula;
      6.       Pemimpin tidak resmi kelompok akan bertindak sebagai perumus dan pelaksanaan dan norma-norma (baru) kelompok tidak resminya;
      7.       Perbedaan dari norma kelompok tidak resmi akan dikenakan sanksi social, biasanya berdasarkan kecaman atau pengasingan orang yang dianggap melanggar norma kelompok tidak resmi;
      8.       Pemimpin tidak resmi bertindak sebagai pembela dari kelompok terhadap alam di luar khususnya melawan organisasi resminya;
      9.       Dalam kelompok resmi pun pada suatu hari akan terbentuk struktur social dan hierarki pimpinan: makin tinggi kedudukan pemimpin dalam hierarki kelompok tidak resmi, makin seragam ia dengan norma kelompok.

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.
  





38. KEUTUHAN SISTEM



Keutuhan Sistem

System yang hidup akan selalu menjaga keutuhan melalui proses “autopoesis” yaitu kemampuan untuk memperbaiki dan memprioteksi diri, bila terjadi kerusakan pada anggota tim, dan pada makhluk hidup, salah satu wujudnya adalah berkomunikasi (berinteraksi) melalui bahasa.

Bahasa akan menimbulkan kalimat, dan sebagai bagian dari anggota, tim akan mencoba mengkomunikasikan segala bentuk informasi untuk diterima dan diteruskan serta ditindak lanjuti melalui bahasa juga.

Kesamaan bahasa dalam tim akan dapat menjamin terwujudnya pemahaman dan kinerja yang tangguh.

Sumber:
Triono Soendoro, M Husni Muadz, 2014, Anatomi Sistem Sosial, Rekonstruksi Normalitas, Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem, Institut Pembelajaran Grlar Hidup, Mataram.







39. KLASIFIKASI KELOMPOK


Teori Anderson dan Parker, mengadakan klasifikasi kelompok sbb:
      1.       Kesatuan ekologi: ecological entities;
      2.       Kelompok berdasarkan dorongan naluriah manusia (institutional angencies);
      3.       Organisasi (organization);
      4.       Lembaga-lembaga masyarakat (institutional agencies);
      5.       Himpunan (collectivities).


Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.










40. KOHESI KELOMPOK

Integritas atau Kohesi Kelompok ditentukan oleh:
      a.       Pola interaksi anggota kelompoknya;
      b.      Identifikasi dan derajat identifikasi individu dengan kelompoknya;

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.





41. KONSEP INTERAKSI


Konsep Interaksi

Konsep interaksi adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan dinamika atau proses rasional yang jika berlangsung terus menerus akan melahirkan “emergent properties” yang selalu muncul, melekat dan bersama proses-2 interaksi antar komponen tersebut, dan akan hilang bila proses interaksi itu berhenti.

Itulah sebabnya fenomena seperti kebahagiaan atau kekecewaan, misalnya, bias dating dan pergi tergantung pada ada tidaknya interaksi dan kualitas interaksi yang memungkinkan “emergency properties” itu muncul.

Sumber:
M Husni Muadz, 2014, Anatomi Sistem Sosial, Rekonstruksi Normalitas, Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem, Institut Pembelajaran Grlar Hidup, Mataram, hlm. 3.










42. MACAM KELOMPOK

Joseph Gitter mengatakan bahwa perbedaan antara kelompok resmi dengan kelompok tidak resmi adalah sbb:
      a.       Kelompok tidak resmi:
1.       Loyalitas kepada anggota;
2.       Peraturan tidak tertulis;
3.       Loyalitas kepada anggota lebih besar dari pada kepada peraturan;
4.       Hubungan wawan muka (face-to-face);
5.       Kenal mengenal secara pribadi (personal);
      b.      Kelompok resmi:
1.       Loyalitas kepada peraturan;
2.       Peraturan tertulis/piagam.

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.







43. MACAM KERJASAMA

Macam kerjasama yang patut kita ketahui adalah antara lain:
      1.       Kerjasama dengan sengaja.
      2.       Kerjasama dengan tidak sengaja.
      3.       Kerjasama dengan paksa.
      4.       Kerjasama dengan sukarela.

Sumber:
Hasan Shadily, 1984, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.








44. MACAM ORGANISASI

Dalam membahas organisasi dikenal adanya:
      a.       Organisasi sukarela:
Biasanya untuk memenuhi hobby seseorang.
      b.      Organisasi paksaan:
Umpamanya “social communities” dengan ikatan-ikatan mahasiswa di universitas yang tidak terjadi dengan sukarela;
      c.       Organisasi selektif:
Membatasi keanggotaannya pada orang-orang yang memenuhi criteria tertentu, umpamanya organisasi para purnawirawan dll.


Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta.

 





45. NORMA DALAM KELOMPOK

Lasswell dan Kaplan, berpendapat bahwa norma-2 yang dilibatkan dalam kelompok:
a.       Welfare values (nilai kesejahteraan)
1.       Agar supaya dapat hidup dengan layak;
2.       Mempunyai pendapatan yang mencukupi keperluan sehari-hari;
3.       Nilai kesehatan badaniyah;
4.       Perasaan aman dalam memperoleh atau melanjutkan pekerjaan;
5.       Hidup tetap terjamin;
b.      Deference values (nilai-2 luhur/agung abstrak)
1.       Nilai yang abstrak;
2.       Dalam hidup saling pengaruh mempengaruhi;
3.       Status;
4.       Penghargaan terhadap orang yang lebih tinggi atau tua;
5.       Nilai-2 moral apa yang dianggap baik, buruk, jujur/tidak jujur, terpuji, dst.

Inilah yang sering dan terus terjadi dalam pembentukan struktur social, interaksi social dan proses social.

Sumber:
Astrid S. Susanto, 1983, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta.



46. PEKERJAAN MANUSIA




Pekerjaan yang melibatkan banyak manusia dalam sebuah tim dengan latar belakang berbeda, dalam menghadapi:

      1.       Masalah rumit;
      2.        Membutuhkan ikatan batin;
      3.       Rasa saling memiliki;
      4.       Kerjasama yang berbagi; dan
      5.       Berinteraksi.

Ciri-ciri sebagai tim yang hidup adalah:
      1.       Adanya perasaan komunitas; dan
      2.       Setiap anggota mempunyai rasa kebersamaan sebagai bagian dari “system hidup” (living system);
      3.       Adanya keterbukaan pandangan; dan
      4.       Wacana pikir maupun batin terhadap dunia luar;
      5.       Toleransi bagi individu yang baru; serta
      6.       Gagasan yang baru dan adaptasi terhadap keadaan yang baru
 
Sumber:
Triono Soendoro, M Husni Muadz, 2014, Anatomi Sistem Sosial, Rekonstruksi Normalitas, Relasi Intersubyektivitas dengan Pendekatan Sistem, Institut Pembelajaran Grlar Hidup, Mataram.






47. PENGERTIAN BUDAYA


Budaya adalah bentk jamak dari kata “budi“ dan “daya” yang berarti cinta, karsa, dan rasa;
Kata “budaya” sebenarnya berasal dari bahasa Sanksekerta, budayah, yaitu bentuk jamak kata Budhi yang berarti budi dan akal;

Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata Culture;

Dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata Cultuur;

Dalam bahasa Latin, berasal dari kata Colera;

Colera berarti: mengolah, dan mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani);

Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti Culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam;


Pengertian budaya atau kebudayaan menurut beberapa ahli, sbb:
      1.       E.B. Tylor
Budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi:
a.       Pengetahun
b.      Kepercayaan
c.       Kesenian
d.      Moral
e.      Keilmuan
f.        Hokum
g.       Adat istiadat, dan
h.      Kemampuan yang lain, serta
i.         Kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat

      2.       R. Linton
Kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsure pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya;

      3.       Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan system;
a.       Gagasan;
b.      Milik diri manusia, dengan
c.       Belajar

      4.       Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
Kebudayaan adalah semua hasil:
a.       Karya;
b.      Rasa, dan
c.       Cipta, masyarakat

      5.       Herkovits
Kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia

Sumber:
Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, 2013, Ilmu Sosial Budaya Dasar, Kencana, Prenadamedia Group, Bandung.



0 komentar:

Posting Komentar