JATI DIRI
YANG HILANG
(LOSS OF
IDENTITY)
Mengukur derajad kompetensi
Mahasiswa ditentukan oleh standart implementasi rasionalitas ilmu dan pengetahuan
dalam atau pasca proses belajar dan mengajar, yang terimplementasi secara akuntabel
dan professional ilmu yang ditekuni, dengan tidak meninggalkan attitude, dan yang terdemensi pada stereotype dalam wujud: cipta, rasa dan
karsa masyarakat kampus atau masyarakat ilmiah.
Adapun kualitas atau derajad
kompetensi dapat mencapai power full,
satu diantaranya ditentukan oleh
personal ideals perfect, dalam kondisi
ini siapapan appreciated, sehingga rasionalitas
publik membenarkan stereotype pada masyarakat
ilmiah yang bernama mahasiswa dan dosen serta pendukungnya. Jadi rasionalitas
mahasiswa bukan berhenti pada tajamnya pemikiran (sharpness of thought) namun sudah pada tataran actuating bersamaan dengan skill dan attitude.
Pertanyaan yang datang, bagaimana
dengan kasus “hilangnya jati diri mahasiswa” ?
Kalau memperhatikan analisis
singkat konsep tersebut di atas dan kita bawa pada kasus yang diajukan pada
pertanyaan tersebut, maka untuk menjawabnya perlu didukung data hasil survey, sekalipun dengan metode/instrument yang paling sederhana, yaitu obeservasi.
Mari kita coba membuktikan hallo effect hasil observasi, contoh sederhana di lingkungan kita masih dijumpai bekas
kaki sepatu dan corat coret yang nempel pada dinding, puntung rokok dibuang
berserakan di mana-mana, meludah dan membuang sampah disembarang tempat tidak
menjadi beban, buang air kecil/besar tidak disentor, berpakaian untuk mengejar
mode dan kurang pantas disebut cendekiawan, belajar atau mengajar sambil
merokok (termasuk ditempat umum) dengan alasan pikiran tidak cair atau tidak mood atau tidak gaul, tatap muka dalam proses belajar dan mengajar kurang penting, yang
penting absen, kurang tanggap pada layanan publik atau prima, padahal jelas
sudah terpasang (3-S) Senyum, Salam, Sapa, dan hasilnya kita dapat justifikasi,
misalkan itu adalah ulah mahasiswa atau dosen dan karyawan, maka rebble hypothesis sudah menjawab iya,
padahal belum sampai ranah pembuktian ilmiah, dan bukan hanya fakta tetapi data.
Jadi yang hilangnya jati diri
lebih banyak dipengaruhi oleh implementasi standar Etika yang mampu membedakan
yang Salah dan Benar, dengan Filosofis (Cinta pada kebijaksanaan).
Sekarang mari kita uji yang
paling sederhana ada pepatah “Guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari”.
Jadi dengan kasus dan data ini maka halo
effect bukan saja ada pada Mahasiswa, tetapi penyebar virus arrogant, apatic lebih besar dipengaruhi
oleh perilaku dan sikap dosen, dengan kata lain hilangnya jati diri mahasiswa,
dipengaruhi oleh hilangnya jati diri dosen serta karyawan, bahkan lebih dari
itu dosenlah yang kehilangan jati diri terlebih dahulu atau dosenlah yang menghilangkan
jati diri mahasiswanya, naudubilahimindalik.
Maaf ya jangan ada yang tersinggung
karena bukan maksud menyinggung, dan jangan tertawa karena bukan lelucon, dan
jangan sakit hati karena ini bukan olokkan. Mari kita masing-masing
instruspeksi diri dan kembali kepada
komitmen kita, sebagai masyarakat ilmiah (dosen, Mahasiswa dan Tenaga
Kependidikan), dengan Ibu Asuh yang bijaksana yaitu Almamater, pada visi
Kerakyatan dan Kompeten. Amin. Marhaban Ya Ramadhan. Selamat Menjalankan Ibadah
Puasa Ramadhan, Sugeng Rusmiwari, Malang, 30 Sya’ban 1435, bertepatan dengan 28
Juni 2014.