Sabtu, 28 Juni 2014

JATI DIRI YANG HILANG



JATI DIRI YANG HILANG
(LOSS OF IDENTITY)

Mengukur derajad kompetensi Mahasiswa ditentukan oleh standart implementasi rasionalitas ilmu dan pengetahuan dalam atau pasca proses belajar dan mengajar, yang terimplementasi secara akuntabel dan professional ilmu yang ditekuni, dengan tidak meninggalkan attitude, dan yang terdemensi pada stereotype dalam wujud: cipta, rasa dan karsa masyarakat kampus atau masyarakat ilmiah.

Adapun kualitas atau derajad kompetensi dapat mencapai power full,  satu diantaranya ditentukan oleh personal ideals perfect, dalam kondisi ini siapapan appreciated, sehingga rasionalitas publik membenarkan stereotype pada masyarakat ilmiah yang bernama mahasiswa dan dosen serta pendukungnya. Jadi rasionalitas mahasiswa bukan berhenti pada tajamnya pemikiran (sharpness of thought) namun sudah pada tataran actuating bersamaan dengan skill dan attitude.

Pertanyaan yang datang, bagaimana dengan kasus “hilangnya jati diri mahasiswa” ?

Kalau memperhatikan analisis singkat konsep tersebut di atas dan kita bawa pada kasus yang diajukan pada pertanyaan tersebut, maka untuk menjawabnya perlu didukung data hasil survey, sekalipun dengan metode/instrument yang paling sederhana, yaitu obeservasi.

Mari kita coba membuktikan hallo effect hasil observasi, contoh sederhana di lingkungan kita masih dijumpai bekas kaki sepatu dan corat coret yang nempel pada dinding, puntung rokok dibuang berserakan di mana-mana, meludah dan membuang sampah disembarang tempat tidak menjadi beban, buang air kecil/besar tidak disentor, berpakaian untuk mengejar mode dan kurang pantas disebut cendekiawan, belajar atau mengajar sambil merokok (termasuk ditempat umum) dengan alasan pikiran tidak cair atau tidak mood atau tidak gaul, tatap muka dalam proses belajar dan mengajar kurang penting, yang penting absen, kurang tanggap pada layanan publik atau prima, padahal jelas sudah terpasang (3-S) Senyum, Salam, Sapa, dan hasilnya kita dapat justifikasi, misalkan itu adalah ulah mahasiswa atau dosen dan karyawan, maka rebble hypothesis sudah menjawab iya, padahal belum sampai ranah pembuktian ilmiah, dan bukan hanya fakta tetapi data.

Jadi yang hilangnya jati diri lebih banyak dipengaruhi oleh implementasi standar Etika yang mampu membedakan yang Salah dan Benar, dengan Filosofis (Cinta pada kebijaksanaan).

Sekarang mari kita uji yang paling sederhana ada pepatah “Guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari”. Jadi dengan kasus dan data ini maka halo effect bukan saja ada pada Mahasiswa, tetapi penyebar virus arrogant, apatic lebih besar dipengaruhi oleh perilaku dan sikap dosen, dengan kata lain hilangnya jati diri mahasiswa, dipengaruhi oleh hilangnya jati diri dosen serta karyawan, bahkan lebih dari itu dosenlah yang kehilangan jati diri terlebih dahulu atau dosenlah yang menghilangkan jati diri mahasiswanya, naudubilahimindalik.

Maaf ya jangan ada yang tersinggung karena bukan maksud menyinggung, dan jangan tertawa karena bukan lelucon, dan jangan sakit hati karena ini bukan olokkan. Mari kita masing-masing instruspeksi diri dan kembali kepada komitmen kita, sebagai masyarakat ilmiah (dosen, Mahasiswa dan Tenaga Kependidikan), dengan Ibu Asuh yang bijaksana yaitu Almamater, pada visi Kerakyatan dan Kompeten. Amin. Marhaban Ya Ramadhan. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan, Sugeng Rusmiwari, Malang, 30 Sya’ban 1435, bertepatan dengan 28 Juni 2014.  

    

0 komentar:

Posting Komentar