AL-AHZAB
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah
dan katakanla perkataan yang benar niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu dan barang siapa mentaati
Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.”
(QS. Al-Azhab: 71-71).
TEORI FENOMENOLOGI
Aliran fenomenologi lahir sebagai reaksi metodologi
positivistic yang memperkenalkan Comte (Waters, 1994:30).
Pendekatan positivisme ini selalu mengandalkan:
1.
Seperangkat
fakta sosial yang bersifat objektif, atas;
2.
Gejala yang tampak secara kasat mata;
Dengan demikian, metodologi ini cenderung :
1.
Melihat fenomena hanya sebagai kulitnya; dan
2.
Kurang mampu memahami makna di balik gejala yang
tampak tersebut;
Sedangkan fenomenologi berangkat dari:
1.
Pola pikir subjektivisme; yang
2.
Tidak hanya memandang dari suatu gejala yang
nampak; akan tetapi
3.
Berusaha menggali makna di balik gejala itu
(Campbell, 1994:23).
Collins (1997: 103) menyebutnya sebagai proses penelitian
yang menekankan “meaningfulness”.
Menurut Emmanuel Kant yang mencoba memikirkan dan memilah
unsur mana yang berasal dari:
1.
Pengalaman; dan unsur mana yang
2.
Terdapat di dalam akal;
Hegel memandang tentang:
1.
Tesis; dan
2.
Antithesis;
Yang melahirkan sistesis (Hadiwiyono, 1985: 63-65).
Fenomenologi sebagai metode berfikir diperkenalkan oleh Edmund
Husserl, yang beranjak dari:
1.
Kebenaran fenomena; seperti yang
2.
Tampak apa adanya;
Suatu fenomena yang tampak sebenarnya merupakan:
1.
Refleksi realitas yang tidak berdiri sendiri;
2.
Karena yang itu adalah objek yang penuh dengan
makna yang transcendental (Hadiwiyono, 1985: 139-140);
Oleh karena itu,
untuk mendapatkan hakekat kebenaran:
1.
Maka harus mampu berfikir lebih mendalam lagi
melampoi fenomena yang tampak itu;
2.
Hingga mendapatkan “meaningfulness” (Dilthey,
dalam Collin, 1997: 104; Waters, 1994: 31).
Menurut Orleans (2000: 1458), fenomenologi digunakan dalam
dua cara mendasar, yaitu:
1.
Untuk menteorikan masalah sosiologi yang
subtansial; dan
2.
Untuk meningkatkan kecukupan metode penelitian
sosiologis;
Lebih lanjut Orleans menjelaskan, bahwa fenomenologi berupaya
menawarkan sebuah koreksi terhadap tekanan bidang tersebut pada konseptualisasi
positivis, metode risetnya yang menganggap bahwa isu yang ditemukan oleh metode
fenomenologi sebagai suatu hal yang menarik;
Menurut Collin (1997: 111), fenomenologi mampu mengungkap:
1.
Objek secara meyakinkan; meskipun objek itu
berupa
2.
Objek kognitif maupun tindakan; ataupun
3.
Ucapan;
Fenomenologi mampu melakukan itu, karena segala sesuatu yang
dilakukan oleh seseorang salalu melibatkan mental;
Orleans menyitir pendapat Darroch dan Silver (1982),
mengatakan bahwa fenomenologi diterapkan agak berbeda dibandingkan dengan ilmu
pengetahuan sosial konvensional lainnya;
Fenomenologi lebih banyak digunakan pada tingkat
metasosiolig, dengan menunjukkan premis-2nya melalui analisis deskriptif dari
prosedur situasional dan bangunan sosialnya (Orleans, 2000: 1457).
Fenomenologi akan berusaha memahami pemahaman informan
terhadap fenomena yang muncul dalam kesadarannya, serta fenomena yang dialami
oleh informan dan dianggap sebagai entitas – sesuatu yang ada dalam dunia
(Collins, 1997: 15);
Orleans mengambil contoh dari Peele (1985) tentang fenomena
“alkoholisme sebagai sebuah penyakit”.
Fenomenologi tidak pernah berusaha mencari pendapat dari
onforman apakah hari ini benar atau salah, akan tetapi fenomenologi akan
berusaha “mereduksi” kesadaran informan dalam memahami fenomena itu;
Orleans (dalam Dimyati, 2000: 70), fenomenologi adalah
instrument untuk memahami lebih jauh antara kesadaran individu dan kehidupan
sosialnya;
Fenomenologi berupaya mengungkap bagaimana:
1.
Aksi
sosial;
2.
Situasi sosial; dan
3.
Masyarakat, s ebagai produk kesadaran manusia;
Fenomenologi beranggapan bahwa masyarakat adalah hasil
konstruksi manusia;
Sumber:
I.B. Wirawan, 2013, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma,
Penerbit Kencana, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar