Hidayah Mendatangkan Hidayah - Kesesatan Mendatangkan
Kesesatan, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Amal kebaikan membuahkan hidayah.
Seiring bertambahnya amal kebaikan maka hidayah pun akan meningkat. Sementara
amal kejahatan sebaliknya. Hal itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai
amal kebaikan sehingga memberikan balasan atasnya dengan hidayah dan
keberuntungan, serta membenci amal kejahatan dan membalasinya dengan kesesatan
dan kesengsaraan. Terulang-ulang dalam Al-Qur’an dijadikannya amalan yang ada
pada qalbu dan anggota badan sebagai sebab hidayah atau sebab kesesatan.
Sehingga pada qalbu dan anggota badan ini terdapat amalan-amalan yang
membuahkan datangnya petunjuk, layaknya hubungan sebab dan musababnya. Demikian
pula kesesatan. Amal kebaikan membuahkan hidayah.
Seiring bertambahnya amal
kebaikan maka hidayah pun akan meningkat. Sementara amal kejahatan sebaliknya.
Hal itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai amal kebaikan sehingga
memberikan balasan atasnya dengan hidayah dan keberuntungan, serta membenci
amal kejahatan dan membalasinya dengan kesesatan dan kesengsaraan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala mencintai kebaikan dan mencintai para pemeluknya sehingga mendekatkan
qalbu mereka kepada-Nya seukuran kebaikan yang mereka lakukan. Allah Subhanahu
wa Ta’ala juga membenci kejahatan dan para pemeluknya sehingga menjauhkan qalbu
mereka dari-Nya seukuran dengan kejahatan yang melekat pada dirinya. Yang
mendasari prinsip ini di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ
فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an)
ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. ”
(Al-Baqarah: 1-2) Ayat ini mengandung dua hal:
Pertama, bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan petunjuk kepada orang yang menjauhi apa yang dibenci Allah
Subhanahu wa Ta’ala sebelum turunnya Al-Qur’an. Karena manusia dengan keragaman
agama dan ajaran mereka, sesungguhnya telah menetap pada diri mereka bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci kezaliman, perbuatan-perbuatan keji,
kerusakan di muka bumi, serta membenci pelakunya, dan mencintai keadilan,
kebaikan, kedermawanan, kejujuran, perbaikan di muka bumi serta mencintai
pelakunya.
Sehingga ketika turun Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan pahala kepada para pemeluk kebaikan dengan memberikan taufik-Nya
kepada mereka untuk beriman kepada Al-Qur’an sebagai balasan atas kebaikan dan
ketaatan mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala biarkan para pelaku kejahatan,
kekejian, dan kezaliman sehingga terhalangi antara mereka dan petunjuk
Al-Qur’an. Kedua, bahwa bila seorang hamba beriman kepada Al-Qur’an serta
mendapat petunjuk darinya secara global dan menerima perintah-perintahnya serta
membenarkan berita-beritanya, maka itu menjadi sebab hidayah yang lain yang ia
dapatkan secara lebih rinci. Karena hidayah itu tidak ada habisnya sampai
manapun seorang hamba dalam hidayah, di atas hidayahnya ada hidayah yang lain.
Setiap kali seorang hamba bertakwa kepada Rabbnya maka dalam kadar itu
hidayahnya meningkat kepada hidayah yang lain. Maka dia tetap berada pada
tambahan hidayah selama berada pada takwa yang bertambah, dan setiap kali ia
melewatkan bagian dari takwa maka akan terlewatkan pula hidayah yang seukuran
dengannya. Sehingga setiap bertambah takwa bertambah hidayahnya dan setiap
bertambah hidayahnya bertambah pula takwanya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala
berfirman:
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللهِ نُورٌ
وَكِتَابٌ مُبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ
السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ
وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu
cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah
menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus. ” (Al-Ma’idah: 15-16)
اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ
يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya). ” (Asy-Syura: 13)
سَيَذَّكَّرُ مَنْ يَخْشَى
“Orang yang takut (kepada Allah)
akan mendapat pelajaran. ” (Al-A’la: 10)
وَمَا يَتَذَكَّرُ إِلَّا مَنْ
يُنِيبُ
“Tidak ada yang mengambil
peringatan, kecuali orang-orang yang kembali. ” (Ghafir: 13)
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Rabb
mereka karena keimanannya. ” (Yunus: 9) Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk
mereka untuk beriman dahulu. Maka ketika mereka beriman, Allah Subhanahu wa
Ta’ala beri hidayah lagi untuk beriman lagi, hidayah setelah hidayah yang lain.
Yang semacam ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَزِيدُ اللهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا
هُدًى
“Dan Allah akan menambah petunjuk
kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. ” (Maryam: 76)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ
تَتَّقُوا اللهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا
“Hai orang-orang yang beriman, jika
kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan. ”
(Al-Anfal: 29) Termasuk dari furqan (pembeda) adalah cahaya yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan, yang dengannya mereka dapat membedakan antara
kebenaran dan kebatilan. Termasuk furqan juga adalah kemenangan dan kemuliaan
yang dengannya mereka dapat menegakkan kebenaran serta menghancurkan kebatilan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِكُلِّ
عَبْدٍ مُنِيبٍ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap hamba yang kembali
(kepada-Nya). ” (Saba’: 9)
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ
صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar
lagi bersyukur. ” (Saba’: 19) Ayat itu terdapat dalam surat Luqman, Ibrahim,
Saba’, dan Asy-Syura. Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan tentang ayat-ayat-Nya
yang dapat disaksikan bahwa itu hanya bermanfaat untuk orang yang sabar dan
bersyukur, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan bahwa ayat-ayat
imaniah Qur’aniah hanya bermanfaat untuk orang yang bertakwa, takut, dan selalu
bertaubat, serta orang yang tujuannya adalah mengikuti keridhaan-Nya. Dan bahwa
yang dapat mengingatnya adalah yang takut kepada-Nya:
طه. مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ
الْقُرْءَانَ لِتَشْقَى. إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى
“Thaha. Kami tidak menurunkan
Al-Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi
orang yang takut (kepada Allah). ” (Thaha: 1-3)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman tentang hari kiamat:
إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ
يَخْشَاهَا
“Kamu hanyalah pemberi peringatan
bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). ” (An-Nazi’at: 45) Adapun
orang yang tidak beriman dengan adanya kiamat, tidak mengharapnya, dan tidak
takut kepadanya, maka tidak akan bermanfaat untuknya ayat kauniyah maupun ayat
Qur’aniah. Oleh karenanya, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam
surat Hud tentang hukuman atas umat-umat yang mendustakan para rasul dan apa
yang menimpa mereka di dunia berupa kehinaan, setelahnya Allah Subhanahu wa
Ta’ala mengatakan:
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِمَنْ
خَافَ عَذَابَ الْآخِرَةِ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat.
” (Hud: 103) Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan bahwa pada hukuman Allah
Subhanahu wa Ta’ala terhadap para pendusta ada ibrah bagi orang yang takut
terhadap azab akhirat. Adapun orang yang tidak beriman terhadap adanya siksa
dan tidak takut darinya maka hal itu tidak akan menjadi ibrah baginya.
Bila
mendengar tentangnya, ia akan mengatakan: masih saja di alam semesta ini ada
kebaikan, kejelekan, kenikmatan, kemiskinan, kebahagiaan, dan kesengsaraan
(yakni hal yang biasa). Bahkan terkadang menyandarkan kejadian-kejadian itu
sebagai peristiwa alam semata.
Sabar dan syukur itu menjadi sebab
seseorang bisa mendapat manfaat dari ayat-ayat. Karena iman itu terbangun di
atas sabar dan syukur. Setengahnya sabar dan setengah yang lain syukur.
Seukuran sabar dan syukurnya, muncul kekuatan imannya.
Yang dapat mengambil manfaat dari
ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah yang beriman kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan ayat-ayat-Nya. Dan imannya tidak akan sempurna kecuali
dengan sabar dan syukur. Puncak syukur adalah tauhid, sedangkan puncak sabar
adalah tidak menuruti hawa nafsu. Sehingga jika seseorang itu musyrik dan
mengikuti hawa nafsu berarti dia tidak bersabar dan tidak bersyukur.
Walhasil,
ayat-ayat tidak akan bermanfaat baginya dan tidak akan berpengaruh dalam
menumbuhkan iman kepadanya. Adapun masalah berikutnya yaitu bahwa kejahatan,
kesombongan, kedustaan, itu mengakibatkan kesesatan, maka keterangan semacam
ini juga banyak dalam Al-Qur’an. Semacam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ
كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ. الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ
اللهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ
وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Dengan perumpamaan itu banyak orang
yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang
yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka)
untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah
orang-orang yang rugi. ” (Al-Baqarah: 26-27)
وَيُضِلُّ اللهُ الظَّالِمِينَ
وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Dan Allah menyesatkan orang-orang
yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki. ” (Ibrahim: 27)
فَمَا لَكُمْ فِي الْمُنَافِقِينَ
فِئَتَيْنِ وَاللَّهُ أَرْكَسَهُمْ بِمَا كَسَبُوا
“Maka mengapa kamu (terpecah)
menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah
telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri?”
(An-Nisa’: 88)
وَقَالُوا قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ
لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيلًا مَا يُؤْمِنُونَ
“Dan mereka berkata: ‘Hati kami
tertutup. ’ Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran
mereka; maka sedikit sekali mereka yang beriman. ” (Al-Baqarah: 88)
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ
وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي
طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan
hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya
(Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam
kesesatannya yang sangat. ” (Al-An’am: 110) Allah Subhanahu wa Ta’ala beritakan
bahwa Dia menghukum mereka karena mereka menyingkir dari iman ketika iman
datang kepada mereka, dalam keadaan mereka mengetahuinya namun justru berpaling
darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka dengan membalikkan qalbu
dan pandangan mereka serta menghalangi antara mereka dan iman, sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ
“Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu
yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
membatasi antara manusia dan hatinya. ” (Al-Anfal: 24) Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan mereka untuk menyambut Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya ketika menyeru mereka kepada sesuatu yang menghidupkan qalbu dan
arwah mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan mereka dari
keengganan mereka untuk menyambut, yang mana hal itu menjadi sebab munculnya
penghalang antara mereka dengan iman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ
قُلُوبَهُمْ وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari
kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk
kepada kaum yang fasik. ” (Ash-Shaff: 5)
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ
مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. ”
(Al-Muthaffifin:14) Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan bahwa perbuatan mereka
menyebabkan tertutupnya qalbu mereka dan menghalangi antara mereka dengan iman
kepada ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga merekapun menyebut ayat
Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya sebagai ‘cerita-cerita orang dahulu’. Allah
Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman tentang orang munafik:
نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ
“Mereka telah lupa kepada Allah,
maka Allah melupakan mereka. ” (At-Taubah: 67) Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan balasan kepada mereka karena mereka melupakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melupakan mereka dan membiarkan
mereka tidak mendapat petunjuk dan rahmat. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun
memberitakan bahwa Dia membuat mereka lupa sehingga mereka tidak mencari
sesuatu untuk menyempurnakan diri mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan amal
yang shalih. Keduanya adalah petunjuk dan agama yang benar. Sehingga Allah
Subhanahu wa Ta’ala membuat mereka lupa untuk mencari hal itu, untuk
mencintainya, mengetahuinya, bersemangat untuk mendapatkannya, sebagai hukuman
karena mereka melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman tentang mereka:
أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللهُ
عَلَى قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ. وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ
هُدًى وَءَاتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
“Mereka itulah orang-orang yang
dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
orang-orang yang mendapat petunjuk Allah menambah petunjuk kepada mereka dan
memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya. ” (Muhammad: 16-17) Allah
Subhanahu wa Ta’ala memadukan untuk mereka antara mengikuti hawa nafsu dan
kesesatan, yang kesesatan itu sesungguhnya adalah buah dan akibatnya,
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memadukan dalam diri orang-orang yang
mendapat hidayah antara ketakwaan dan hidayah.
(diterjemahkan dan diringkas dari
kitab Al-Fawa’id karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah hal. 145-149, oleh Qomar
Suaidi)
Sumber: asysyariah. com/syariah.
php?menu=detil&idonline=749 sumber: www. darussalaf. or. id, penulis:
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah