Dalil Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Ahlus Sunnah berhujjah dengan dalil-dalil yang banyak sekali dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits, diantaranya:
1. Firman Allah Swt dalam Surah Al-Hujurat : 9-10 yang artinya :
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah
allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya
kamu mendapat rahmat.”
Segi Istidlal (pengambilan dalil)nya: Allah tetap mengakui
keimanan pelaku dosa peperangan dari orang-orang mukmin dan bagi para
pembangkang dari sebagian golongan atas sebagian yang lain, dan Dia
menjadikan mereka menjadi bersaudara. Dan Allah memerintahkan orang-
orang mukmin untuk mendamaikan antara saudara-saudara mereka seiman.
2. Abu Said Al-Khudri mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Allah memasukkan penduduk Surga ke Surga. Dia memasukkan orang-
orang yang Ia kehendaki dengan rahmat-Nya. Dan Ia memasukkan penduduk
Neraka. Kemudian berfirman, ‘Lihatlah, orang yang engkau dalam hatinya
iman seberat biji sawi maka keluarkanlah ia’. Maka dikeluarkanlah
mereka dari Neraka dalam keadaan hangus terbakar, lalu mereka
dilemparkan ke dalam sungai kehidupan atau air hujan, maka mereka
tumbuh di situ seperti biji-bijian yang tumbuh di pinggir aliran air.
Tidaklah engkau melihat bagaimana ia keluar berwarna kuning
melingkar? .” (HR.Muslim, I/172 dan Bukhari, IV/158).
Segi Istidlal-nya, adalah tidak kekalnya orang-orang yang berdosa
di Neraka, bahkan orang yang dalam hatinya terdapat iman yang paling
rendah pun akan dikeluarkan dari Neraka, dan iman seperti ini tidak
lain hanyalah milik orang-orang yang penuh dengan kemaksiatan dengan
melakukan berbagai larangan serta meninggalkan kewajiban-kewajiban.
Dampak Maksiat Terhadap Iman
Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu dalam bentuk meninggalkan
perintah maupun melakukan suatu larangan. Sedangkan iman, sebagaimana
telah kita ketahui adalah 70 cabang lebih, yang tertinggi adalah
ucapan ‘laa ilaaha illallah’ dan yang terendah adalah menyingkirkan
gangguan di jalan. Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai atau berbobot
sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupun meninggalkan
(larangan). Karena itu maksiat juga berbeda-beda. Dan maksiat berarti
keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan karena ingkar atau
mendustakan, maka ia bisa membatalkan iman. Sebagaimana Allah SWT
menceritakan tentang Fir’aun dengan firman-Nya dalam Surah An-Nazi’at
21 yang artinya:
“Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.”
Dan terkadang maksiat itu tidak sampai pada derajat tersebut
sehingga tidak membuatnya keluar dari iman, tetapi memperburuk dan
mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti berzina,
mencuri, minum-minuman yang memabukkan atau sejenisnya, tetapi tanpa
meyakini kehalalannya, maka hilang rasa takut, khusyu’ dan cahaya
dalam hatinya; sekalipun pokok pembenaran dan iman tetap ada di
hatinya. Lalu jika ia bertaubat kepada Allah dan melakukan amal shaleh
maka kembalilah khassyah dan cahaya itu ke dalam hatinya. Apabila ia
terus melakukan kemaksiatan maka bertambahlah kotoran dosa itu di
dalam hatinya sampai menutupi serta menguncinya -na’udzubillah!-. Maka
ia tidak lagi mengenal yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran.
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya orang mukmin itu jika berbuat dosa maka terbentuklah
titik hitam di hatinya. Apabila ia bertaubat, meninggalkan dan
beristighfar maka mengkilaplah hatinya. Dan jika menambah (dosa) maka
bertambahlah (bintik hitamnya) sampai menutupi hatinya. Itulah ‘rain’
yang disebut oleh Allah dalam Al-Qur’an.” “Sekali-kali tidak
(demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup
hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin : 14, HR. Ahmad II/297).
Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas
iman, yaitu bahwasanya iman itu seperti pohon besar yang rindang. Maka
akar-akarnya adalah tashdiq (kepercayaan) dan dengan akar itulah ia
hidup, sedangkan cabang-cabangnya adalah amal perbuatan. Dengan cabang
itulah kelestarian dan hidupnya terjamin. Semakin bertambah cabangnya
maka semakin bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika berkurang maka
buruklah pohon itu. Lalu jika berkurang terus sampai tidak tersisa
cabang maupun batangnya maka hilanglah nama pohon itu. Manakala akar-
akar itu tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang bisa
berdaun maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia dalam tanah.
Begitu pula maksiat-maksiat dalam kaitannya dengan pohon iman, ia
selalu membuat pengurangan dan aib dalam kesempurnaan dan
keindahannya, sesuai dengan besar dan kecilnya atau banyak dan
sedikitnya kemaksiatan tersebut. Wallau a’alam
0 komentar:
Posting Komentar