26 RAKYAT
BELUM SIAP PILKADA LANGSUNG
Sudah saatnya
pemilihan umum kepala daerah secara langsung dikaji ulang karena sering
memunculkan banyak polemic.
Dlam masyarakat yang belum dewasa, pilkada langsung selain
memicu pertikaian antar pendukung juga memakan biasa besar.
Pilkada langsung dapat berjalan tertib dan efisien jika
masyarakat telah dewasa, tak heran jika terjadi perusakan kantor bupati /
walikota atau DPRD, dan segala macam tindakan anarki lainnya. Hal semacam ini sering mewarnai pilkada langsung.
EMOSIONAL
Di masyarakat yang rasional seperti Amerika Serikat, menurut
sosiolog dari Universitas Patimura Ambon, Dr Tontji Soumokil, masyarakat akan
memilih kandidat, bukan kedekatan hubungan kekerabatan atau emosional.
Selain itu persoalan pilkada langsung pun sangat kompleks
dan rumit. Banyak yang perlu dibenahi.
Lembaga KPUD harus independen dan tak boleh melenceng,
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun tidak boleh didorong kiri kanan untuk mendukung
salah satu calon bulati karena aturan PNS harus netral, kata Tontji. Dia
mengatakan, pilkada langsung juga merupakan pemborosan. Sekali pilkada bias
menelan biaya Rp 15 miliar. Padahal, kalau proses pemilihan bupati di DPRD
barangkali hanya keluar dana Rp 1 miliar sehingga sisa uang bias digunakan
untuk memberdayakan masyarakat miskin.
Mdenurut Tontji, cara pemilihan bupati / wali kota ataupun
gubernur di DPRD yang merupakan representasi rakyat akan lebih baik. Alasannya
anggota DPRD lebih bijak menilai kapasitas seseorang.
Kalau masyarakat di bawah yang tidak punya pengetahuan
politik disuruh memilih maka akan berbeda. Kalau dipilih langsung oleh
masyarakat sebenarnya itu kebablasan.
Selain masyarakat tidak punya kapasitas cukup untuk menilai
calon bupati /wali kota/gubernur, juga bias terjadi konflik.
Sumber:
Kompas, Kamis 3 Mei
2012, halaman 5.
0 komentar:
Posting Komentar