Selasa, 22 Mei 2012

Materi 38, PIP, EFK, Arogansi Cermin Masyarakat


38 AROGANSI CERMIN MASYARAKAT

Problem cultural bangsa Indonesia saat ini adalah arogansi sudah menjadi hal yang lumrah.
Masyarakat, baik dilevel elite, menengah maupun bawah, cenedrung bertindak arogan meski bentuknya berbeda-beda.

Arogansi aparat keamanan di lapangan pada dasarnya hanya mencontoh hal serupa yang dilakukan atasannya dalam bentuk berbeda,  kata anggota Komisi III DPR dari F-PDIP, Achmad Basarah, Senin 7/5.

Kondisi itu, lanjut Basarah, juga dapat memancing rasa frustrasi di masyarakat. Ini terlihat dari masyarakat yang berani bertindak sendiri untuk menentang aksi arogan, misalnya dengan langsung melawan atau merekamnya dan kemudian menyebarkannya melalui berbagai media.

Jika kondisi tersebut terus dibiarkan tanpa ada tindakan hukum yang tegas, akan semakin merusak tatanan social.

Menurut sosiolog dari Universitas Indonesia. Tamrin Amal Tomagola, masyarakat saat ini merasa tidak nyaman, tertekan bahkan frustrasi atas keadaan yang serba tak pasti.

Negara sebagai penyelenggara pemerintahan lemah.
Demokrasi dikuasai elite politik untuk kepentingan sendiri.

Hukum justru mempertontonkan ketidak adilan.
Kekuasaan dan modal bias membeli hukum.
Ekonomi dimonopoli pemilik modal besar.

Negara gagal memenuhi tanggung jawabnya kepada rakyat, tak mampu memberikan kenyamanan, keadilan, keamanan, dan kesejahteraan.

Masyarakat stress sehingga memicu depresi social, katanya.
Depresi itu ditunjukkan dengan kekerasan yang mudah meletup.
Dipicu oleh hal-hal sepele saja, perilaku sebagiam masyarakat menjadi agresif.

Karena tak yakin masalah bisa diselesaikan oleh hukum secara adil, akhirnya bayak orang mengambil jalan pintas dan main hakim sendiri.

Depresi social itu, ujar pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Mudji Sutrisno kian menjadi-jadi karena media, terutama televise, juga mempertontonkan kekerasan.

Lembaga atau tokoh yang diharapkan memberikan teladan ternyata justru menjadi bagian dari masalah.
Kondisi seperti ini bia disebut sebagai “distrust society” alias masyarakat yang kehilangan kepercayaan. 

Akibatnya, naluri-naluri merusak dan kemarahan terpendam mudah keluar di ruang publik”, katanya.
“Ruang publik kehilangan moral dan berlakulah hokum rimba. Pada tingkat paling parah, manusia akan saling memangsa atau “homo homini lupus” ujarnya.

Depresi social dan masyarakat tanpa kepercayaan ini harus diantisipasi.
Negara harus memberdayakan diri untuk memenuhi tanggung jawab menjalankan  pemerintahan yang baik.
Penegakan hokum secara adil, perwujudan demokrasi yang membela kepentingan rakyat, peningkatan kesejahteraan rakyat, serta perbaikan moralitas dan kearifan.

Kita harus kembali pada tujuan didirikannya Negara Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hidup bersama diatur oleh demokrasi dan hokum yang mengabdi pada kepentingan publik dan keadilan.

Sumber:
Harian Kompas, Selasa 8 Mei 2012, hlm. 1 dan 15.
  

0 komentar:

Posting Komentar