42 MODEL DALAM
MEMBANGUN PEMERINTAHAN
Douglas Yates (1982) menyatakan bahwa ada dua model yang
kotradiktif yang bisa dipergunakan untuk
membuat bagaimana pemerintahan bisa bekerja dan terstruktur;
Model pertama disebutnya sebagai model pluralist – democracy, model kedua dinamakan model administrative – efficiency.
Dua model ini cenderung diartikan sebagai ideology yang menjadi doktrin dalam mengatur negara atau pemerintahan;
Dua model ini menjadi bagian dari apa yang dikatakan oleh Hussel (1990) sebagai natural attitude, dan Schultz (1962, 1967) menyebutkan sebagai Lebenswelt atau every day life world;
Dua model itu merupakan antithetical dan bisa hidup jika model satunya tidak ada.
Upaya untuk menghidupkan atau mempergunakan model yang satu akan berakibat pada menghilangkan yang lain;
Walaupun dua model itu berimplikasi yang amat penting bagi pemerintahan tidak satupun mempunyai subyek yang eksplisit;
Model Pluralist – democracy berasumsi sebagai berikut:
1.
Bahwa di dalam masyarakat itu terdapat banyak
sekali kelompok-kelompok kepentingan (ineterst groups) yang berbeda satu sama
lain dan saling bersaing;
2.
Bahwa pemerintah itu harus menawarkan suatu
akses dan sarana partisipasi yang sama kepada kelompok-kelompok kepentingan
tersebut;
3.
Bahwa pemerintah harus mempunyai banyak
pusat-pusat kekuasaan yang menyebar baik vertical maupun horizontal untuk
menjamin keseimbangan (a balance of power);
4.
Bahwa pemerintahan dan politik itu harus bisa
dipahami sebaga suatu sarana kompetisi di anatara kepentingan-kepentingan
minoritas;
5.
Bahwa ada probabilitas yang tinggi bahwa suatu
kelompok yang aktif dan legitimate dalam suatu populasi bisa membuat dirinya
mendengar secara efektif terhadap tahapan-tahapan yang krusial dalam
proses pembuatan kebijaksanaan;
6.
Bahwa kompetensi di antara institusi pemerintah
dan kelompok-kelompok kepentingan nonpemerintah bisa menyebabkan terjadinya
suatu bargaining dan kompromi, dan juga bisa menghasilkan suatu keseimbangan
kekuasaan dalam msyarakat.
Yates dalam model pluralist
– democracy, menyarankan agar birokrasi pemerintah mewujudkan hal-hal berikut:
1.
Menyediakan banyak pusat-pusat kekuasaan sebagai sarana keseimbangan dan untuk
mengecek jika terjadi konsentrasi kekuasaan;
2.
Memberikan fasilitas atau kemudahan kepada kelompok-kelompok
kepentingan agar terwakili dengan
menyediakan titik-titik akses yang berlipat ganda;
3.
Mempunyai kemauan dan elemen yang kuat untuk
melakukan desentralisasi;
4.
Pemerintah harus menyediakan diri secara
internal bias bersaing;
5.
Pemerintah harus terbuka dan partisipatif;
6.
Pemerintah harus mampu menghasilkan proses
bargaining yang luas;
Masih menurut Yates, model yang lainnya dinamakan
“Administrative efficiency” asumsi dasarnya:
1.
Model ini menentang “pluralist democracy”,
karena model pluralis tidak mampu memberikan dasar yang kuat dan cocok terhadap
kebijakan publik yang rasional dan bebas nilai (value free);
2.
Bahwa nilai utama dari proses kebijaksanaan
publik itu ialah efisiensi, yakni diperoleh suatu hasil yang terbesar dengan
biaya yang terkecil;
3.
Bahwa birokrat haruslah pejabat yang
professional dipilih dan diangkat secara kompetitif berdasarkan kompetensi dan
merit;
4.
Bahwa system merit dan keahlian ditata dan diorganisasikan
secara efektif ke dalam suatu hierarki yang memuat spesialisasi fungsi dengan
pertanggung jawaban dan kewajiban yang jelas;
5.
Bahwa politik dan administrasi, demikian pula
kenyataan (fact) dan nilai (values) harus bias dipisahkan;
6.
Bahwa perencanaan merupakan proses yang esensial
bagi proses pembuatan keputusan yang baik dan sentralisasi menejemen fiscal
merupakan hal yang esensial bagi tercapainya kejujuran dan efektivitas;
7.
Bahwa kemampuan melakukan koordinasi yang
menyeluruh dan energized sehingga menjadi bagian dari suatu system birokrasi
publik yang kuat haruslah diletakkan kepada eksekutif yang dipilih sebagai
wakil dari kepentingan rakyat.
Sumber:
Miftah Thoha, Birokrasi Politik, di Indonesia, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 30-33.
0 komentar:
Posting Komentar