Senin, 28 Mei 2012

Materi 42, PIP, MODEL DALAM MEMBANGUN PEMERINTAHAN


42  MODEL DALAM MEMBANGUN PEMERINTAHAN

Douglas Yates (1982) menyatakan bahwa ada dua model yang kotradiktif yang bisa dipergunakan  untuk membuat bagaimana pemerintahan bisa bekerja dan terstruktur;

Model pertama disebutnya  sebagai model pluralist – democracy, model kedua dinamakan model  administrative – efficiency.

Dua model ini cenderung diartikan sebagai ideology yang menjadi doktrin dalam mengatur negara atau  pemerintahan;

Dua model ini menjadi bagian dari apa yang dikatakan oleh Hussel (1990) sebagai natural attitude, dan Schultz (1962, 1967) menyebutkan sebagai Lebenswelt atau every day life world;

Dua model itu merupakan antithetical dan bisa hidup jika model satunya  tidak ada.

Upaya untuk menghidupkan atau mempergunakan model yang satu akan berakibat pada menghilangkan yang lain;

Walaupun dua model itu berimplikasi yang amat penting bagi pemerintahan tidak satupun mempunyai subyek yang eksplisit;

Model Pluralist – democracy berasumsi sebagai berikut:
1.       Bahwa di dalam masyarakat itu terdapat banyak sekali kelompok-kelompok kepentingan (ineterst groups) yang berbeda satu sama lain dan saling bersaing;
2.       Bahwa pemerintah itu harus menawarkan suatu akses dan sarana partisipasi yang sama kepada kelompok-kelompok kepentingan tersebut;
3.       Bahwa pemerintah harus mempunyai banyak pusat-pusat kekuasaan yang menyebar baik vertical maupun horizontal untuk menjamin keseimbangan (a balance of power);
4.       Bahwa pemerintahan dan politik itu harus bisa dipahami sebaga suatu sarana kompetisi di anatara kepentingan-kepentingan minoritas;
5.       Bahwa ada probabilitas yang tinggi bahwa suatu kelompok yang aktif dan legitimate dalam suatu populasi bisa membuat dirinya mendengar  secara efektif  terhadap tahapan-tahapan yang krusial dalam proses pembuatan kebijaksanaan;
6.       Bahwa kompetensi di antara institusi pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan nonpemerintah bisa menyebabkan terjadinya suatu bargaining dan kompromi, dan juga bisa menghasilkan suatu keseimbangan kekuasaan dalam msyarakat.

Yates dalam model  pluralist – democracy, menyarankan agar birokrasi pemerintah mewujudkan hal-hal berikut:
1.       Menyediakan banyak pusat-pusat kekuasaan  sebagai sarana keseimbangan dan untuk mengecek jika terjadi konsentrasi kekuasaan;
2.       Memberikan fasilitas atau kemudahan kepada kelompok-kelompok kepentingan agar terwakili  dengan menyediakan titik-titik akses yang berlipat ganda;
3.       Mempunyai kemauan dan elemen yang kuat untuk melakukan desentralisasi;
4.       Pemerintah harus menyediakan diri secara internal bias bersaing;
5.       Pemerintah harus terbuka dan partisipatif;
6.       Pemerintah harus mampu menghasilkan proses bargaining yang luas;

Masih menurut Yates, model yang lainnya dinamakan “Administrative efficiency” asumsi dasarnya:
1.       Model ini menentang “pluralist democracy”, karena model pluralis tidak mampu memberikan dasar yang kuat dan cocok terhadap kebijakan publik yang rasional dan bebas nilai (value free);
2.       Bahwa nilai utama dari proses kebijaksanaan publik itu ialah efisiensi, yakni diperoleh suatu hasil yang terbesar dengan biaya yang terkecil;
3.       Bahwa birokrat haruslah pejabat yang professional dipilih dan diangkat secara kompetitif berdasarkan kompetensi dan merit;
4.       Bahwa system merit  dan keahlian ditata dan diorganisasikan secara efektif ke dalam suatu hierarki yang memuat spesialisasi fungsi dengan pertanggung jawaban dan kewajiban yang jelas;
5.       Bahwa politik dan administrasi, demikian pula kenyataan (fact) dan nilai (values) harus bias dipisahkan;
6.       Bahwa perencanaan merupakan proses yang esensial bagi proses pembuatan keputusan yang baik dan sentralisasi menejemen fiscal merupakan hal yang esensial bagi tercapainya kejujuran dan efektivitas;
7.       Bahwa kemampuan melakukan koordinasi yang menyeluruh dan energized sehingga menjadi bagian dari suatu system birokrasi publik yang kuat haruslah diletakkan kepada eksekutif yang dipilih sebagai wakil dari kepentingan rakyat.
  
Sumber:
Miftah Thoha, Birokrasi Politik, di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 30-33.

0 komentar:

Posting Komentar