MODEL
KEPEMIMPINAN INTEGRATIF DAN VISIONER
BERBASIS OTONOMI DAERAH
Sugeng
Rusmiwari
A. Latar
Belakang:
Dalam kepemimpinan terdapat dua
model pendekatan yang berbeda yaitu: pendekatan klasik dan pendekatan modern.
Pendekatan klasik terfokus pada personalitas (ketokohan) seorang
pemimpin. Dan pendekatan modern pada kepemimpinan ideal.
Pendekatan klasik bahwa
pemimpin adalah mereka yang memiliki kapasitas personal yang “lebih dari rata-rata”,
yang mampu mempengaruhi dan mengatur bawahan yang cenderung pasif dan lebih
“tidak tahu” dari si pemimpin.
Pada pendekatan modern lebih
focus pada interaksi antara pemimpin dan
yang dipimpin.
Krisis kepemimpinan dalam era
otonomi daerah terjadi lebih akibat hilangnya figur pemimpin yang berwibawa dan
dihormati oleh rakyat sendiri, hilangnya figur pemimpin yang berwibawa ditandai
juga oleh kalangan elit politik yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan
kelompok serta mengenyampingkan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme.
Rasa nasionalisme dan
patriotosme adalah paham kebangsaan yang tumbuh di dalam perasaan cinta negara
dan Tanah Air yang tumbuh di kalangan warga Negara, sehingga setiap warga
Negara adalah pemimpin yang
ber Etika yaitu mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam
kepentingan nasional, serta memiliki filosofis yaitu bijaksana dalam
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan
kelompoknya.
B. Kekhawatiran
Disintegrasi Bangsa.
Kepemimpinan yang sentralistik,
monopolistic / otoriter, dan penyerapan bagi seluruh wilayah tanah air tanpa memberikan
keleluasaan (discreationary power) kepada daerah, dan tanpa mempertimbangkan
kondisi, potensi dan keanekaragaman akan
mengakibatkan
ketidakpuasan dan ketidakadilan, serta melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa, yang akan
menimbulkan disintegrasi dan ancaman bagi eksistensi dan kebutuhan Negara serta
persatuan dan kesatuan bangsa.
Secara Etik dan Filosofis,
kekhawatiran bakal timbulnya disintegrasi bangsa karena otonomi daerah adalah tidak mendasar,
namun faktanya saudara-sadara kita di daerah ingin keluar dari NKRI ? Ada apa
?
C. Kebijakan
Kepemimpinan Integratif Otonomi Daerah.
Dengan kebijaksanaan publik desentralisasi
yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, merupakan
strategi baru dalam memasuki Era Kepemimpinan Modern Berbasis Otonomi Daerah yang tif
dan Filosofis serta Integratif bagi
bangsa Indonesia.
Dengan Undang-Undang
tersebut, pemimpin atau (Leader) dalam
segala posisi hingga rakyak sebagai (Follower) diharapkan akan dapat leboh sejahtera dengan
mengembangkan kehidupan demokrasi, peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat,
serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah.
Oleh karena itu, melaksanakan UU No. 22 dan UU
No. 25 Tahun 1999 dan secara tepat waktu dengan merampungkan segala peraturan pelaksanaan terkait
adalah merupakan upaya kepemimpinan strategis yang integrative dan sangat perlu dilakukan,
sebagai tindakan untuk mengantisipasi dan mencegah makin berkembangnya separatisme
dan di integrasi bangsa. Menunda atau memperlambat pelaksanaan ini hanya akan menambah
keresahan, ketidakpuasan dan ketidakadilan, serta makin merosotnya kewibawaan
pemerintah sebagai akibat rendahnya
kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah.
D. Langkah-langkah
Strategis yang perlu dilakukan.
Disintegrasi
bangsa dapat terjadi karena adanya konflik kepemimpinan vertikal atau konflik
kepemimpinan horizontal akibat tuntutan demokratisasi yang berlebihan atau melampaui batas, sikap
primordialisme bernuansa SARA, konflik antar elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi,
lemahnya penegakan hukum dan HAM serta ketidaksiapan pelaksanaan otonomi daerah.
1. Tuntutan Kepemimpinan Demokratis yang melampaui batas.
Reformasi
dengan semangatnya melakukan rekonstruksi kepemimpinan pemerintahan demokratis dan legitimate, kenyataannya sekian tahun kepemimpinan
pemerintahan belum mampu menyelesaikan
berbagai masalah, termasuk agenda reformasi yang dicanangkannya. Sehingga dampaknya kondisi stabilitas keamanan nasional sangat memprihatinkan dan terkesan reformasi menimbulkan kerugian besar baik materiil maupun
imateriil. Ekses negatif semakin
merebaknya tindak kekerasan, anarkisme, serta diabaikannya etika dan moral. Lemahnya penegakan hokum juga menurunkan kepercayaan masyarakat dan dilewatinya
ambang batas kesabaran masyarakat,
sehingga muncul kecenderungan tindakan yang melanggar hukum seperti main hakim sendiri, naiknya angka kriminalitas,
peledakan bom, dan beredarnya obat psikotropika.
Maraknya demonstrasi yang tidak
mengindahkan aturan dan norma yang berlaku menambah semakin rapuhnya
solidaritas sosial masyarakat. Pemaksaan aspirasi
dengan mengerahkan massa serta menyampaikan pendapat yang tidak memperhatikan etika dan moral dalam bentuk
pernyataan yang kurang etis kadangkadang muncul dalam setiap aksi unjuk rasa.
2.
Sikap kepemimpinan masyarakat
yang berbau SARA.
Kemajemukan
bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, adat, bahasa dan budaya disatu sisi merupakan
kekayaan bangsa dan negara yang tidak ternilai harganya, namun juga sarat dan rentan
dengan konflik yang dapat mengganggu
keamanan, bilamana ini terjadi hal itu
menunjukkan rapuhnya rasa kebangsaan dan semangat solidaritas social di
negeri ini. Di antarnya terjadinya benturan antara suku asli daerah dengan suku
pendatang, ini terjadi akibat adanya rasa
kesukuan yang berlebihan yang berdampak kepada ketidaksukaan kepada suku lainnya, baik karena kecemburuan
sosial ataupun tidak dapat menerima sikap dan perilaku suku lainnya yang
dianggap tidak sesuai ataupun tidak pantas bagi adat dan budaya setempat, bilamana itu terjadi berarti menjadi faktor
dan sumber gangguan keamanan yang
sampai saat ini masih dicari cara penyelesaiannya yang efektif. Oleh karena itu
apabila semangat primordialisme yang
bernuansakan SARA tidak diwaspadai maka stabilitas keamanan nasional akan terus mengalami krisis yang
berkelanjutan.
3. Sikap Pemimpin Agama yang berlebihan
Sekali
tempo fanatisme agama adalah hal yang perlu bilamana itu terkait dengan iman dan takwa. Namun bangsa
Indonesia dengan heteroginitas beragama hal itu mudah menjadi
masalah SARA. Para
Pimpinan Agama Islam dengan penganut terbesar menjadi kunci kerukunan umat beragama dan antar
agama. Dengan Etika Kepemimpinan beragama maka akan memberikan kesejukan dalam hubungan antar agama, sebaliknya
sikap fanatisme yang sempit akan dapat menghancurkan kerukunan kehidupan antar umat beragama dan
antar agama.
Sisi lain bagi Pimpinan pemeluk
agama lainnya, jangan bersikap eksklusif
karena akan dapat menimbulkan kesenjangan dan rasa antipati dari masyarakat Islam dengan kehidupan yang sederhana bahkan masih banyak yang serba
kekurangan. Pertimbangan yang lain adalah
daerah-daerah yang secara khusus memiliki pemeluk agama yang mayoritas dan daerah-daerah dengan penduduk (suku
bangsa) yang jumlahnya minoritas .
Masyarakat-masyarakat
yang beragama mayoritas disuatu wilayah tertentu seperti Aceh, Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara Timur dst, perlu
mendapat perhatian dengan Kepemimpinan Secara
Khusus termasuk di dalam kebijaksanaan otonomi daerah untuk menghindarkan gejolak yang muncul dengan latar
belakang permasalahan agama dan fanatisme
yang berlebihan tersebut.
4. Sikap Elite Para Pemimpin
Pemilu
yang sebelumnya hanya diikuti 2 Partai Politik dan 1 Golkar. Maka dengan UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, dalam Pemilu 1999 hingga saat ini semakin
banyak bahkan memingungkan masyarakat. Satu sisi berarti kehidupan berdemokrasi
semakin baik, hal itu terlihat semakin banyak partai politik yang mengatasnamakan demokrasi yang
akan menghasilkan
para Pemimpin Bangsa dan Negara jadi lebih baik, namun kenyataan dilapangan justru sebaliknya,
banyak dijumpai terjadinya pelanggaran hokum dari para Pimpinan atau Elite
Politik, pelanggaran
hak asasi manusia, sehingga Nampak semakin terlihat adanya pelanggaran Etika dan
Filosofis yang dilakukan oleh para
pemimpin.
5. Kepemimpinan Ekonomi Kerakyatan
Dampak krisis ekonomi
hingga saat ini masih dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah,
pertanyaannya apa yang menjadi penyebabnya, kurang lebih masalahnya adalah:
a.
Para Pemimpin atau Penyelenggara Negara kurang jelas dalam memberikan
skala prioritas
penyelesaian masalah ini dalam mengambil kebijakan publik / ekonomi.
b.
Tidak jelasnya kebijakan ekonomi dari para Pemimpin, mengakibatkan mekanisme proses ekonomi
kurang atau tidak berfungsi
secara efektif.
c.
Dampaknya terjadi kesenjangan ekonomi antara pusat dan daerah, antar
daerah, antarpelaku, dan antargolongan telah memicu kerawanan sosial dan keamanan apalagi
lambatnya pemulihan
ekonomi mengakibatkan pengangguran semakin meningkat.
6. Dilema Kepemimpinan Hukum
Agenda
penting saat ini adalah penegakan
supremasi hukum, mencakup aspek budaya
hukum, penyempurnaan dan pembaharuan
substansi hukum, termasuk pembenahan
dan penataan lembaga penegak hukum agar terwujud kewibawaan hukum, sehingga para Pemimpin dalam penegakkan
hokum memiliki posisi yang strategis, karena masalah hokum biasanya bersebtuhan
dengan HAM.
Akibat
Kepemimpinan dalam Penegakkan Hukum yang tidak pasti, maka masih banyak terjadi pelanggaran HAM,
hal ini menambah semakin buruknya situasi keamanan nasional. Sehingga yang dirasakan saat ini adalah hukum belum mampu menciptakan rasa aman bagi
rakyat kecil dan kurang atau tidak adanya jaminan HAM, dan masalah ini
bersentuhan dengan dunia internasional.
7. Kepemimpinan Lain
Negara
Kesatuan Republik Indonesia memiliki posisi yang strategis, serta dengan sumber daya alam yang besar tidak
menutup kemungkinan menyebabkan adanya negara-negara asing sangat berkepentingan terhadap Indonesia, dan sejarah telah membuktikan
masalah ini. Maka dengan kemajemukan negara
Indonesia sangat rawan untuk terjadinya
disintegrasi bangsa karena diiri oleh Negara lain.
E. Membangun
Kepemimpinan Integratif dan Visioner
Pada
dasarnya organisasi yang paling besar dalam suatu Negara adalah Pemerintah, dan
Pemerintah dalam arti penyelenggara pembangunan adalah dari Pusat hingga ke
Daerah, dan dengan kepemimpinpinan yang sangat strategis, maka visi pemimpin
menjadi hal yang utama, mengapa demikian karena:
a). Memilih dan menyatakan visi kepemimpinan yang
benar dari Top Leader (Pusat) hingga Pemimpin yang ada di Daerah.
b). Apabila ini bisa dicapai maka, kepemimpinan
nasional dan daerah sudah menemukan arah
yang tepat untuk merealisasikan impian
NKRI
c). Sehingga peranan visi pemimpin yang menyatakan
komitmen dan memberi motivasi kepada bangsa Indonesia.
F. Hambatan
Membangun Kepemimpinan Integratif dan Visioner
Inisiatif
melakukan perubahan kepemim;pinan dengan berbagai upaya sistematik banyak dilakukan,
kegagalan melakukan perubahan besar yang tidak diharapkan yang mungkin terjadi di
antaranya:
1. Membiarkan rasa puas diri pemimpin yang berlebihan.
2. Gagal membentuk kepemimpinan tim yang mengarah pada
perubahan.
3. Menganggap remeh kekuatan visi yang sudah
dicanangkan, karena mungkin dibuat asal jadi atau instant.
4. Visi
tidak dikomunikasikan dengan baik, baik vertical maupun horisontal.
5. Membiarkan rintangan yang menghadang pencapaian
visi.
6. Gagal mendapatkan kemenangan jangka pendek, sesuai
skala prioritas.
7. Terlalu cepat menyatakan kemenangan akhir.
8. Gagal membakukan perubahan ke dalam budaya
organisasi atau masyarakat.
Kemungkinan
lain bila organisasi tidak dapat mewujudkan visinya yang integratif, yaitu:
1. Visi tidak cukup jelas
untuk difahami atau semu.
2. Visi tidak cukup dikomunikasikan atau basa-basi saja.
3. Visi tidak cukup menarik
perhatian.
4. Visi tidak sesuai dengan harapan dan keinginan banyak orang.
5. Visi tidak cukup
sederhana untuk dapat diingat.
6. Visi tidak cukup ambisius.
7. Visi tidak cukup memotivasi.
8. Visi tidak sesuai dengan ni!ai yang dianut sebagian besar orang.
9. Visi tidak menginspirasi antusiasme.
10. Visi, kalau tercapai, tidak memberikan rasa
bangga.
11. Visi tidak mampu
memberi makna dalam kaitannya dengan kehidupan seharihari.
12. Visi tidak merefleksikan keunikan.
13. Visi tidak diyakini dapat dicapai.
14. Visi
membuat orang bersedia berkorban.
15. Visi tidak "bernafas"/tidak "hidup."
16. Visi tidak dirumuskan positif.
17. Visi tidak dipelihara baik oleh penggagasnya.
G.
Upaya Pemecahan
Agar Visi dapat mengikat seluruh
masyarakat serta mampu menjadi sumber inspirasi dalam menjalankan pembangunan
ini,
membangkitkan dan mengarahkan, maka pemimpin visioner dan integratif
pusat dan daerah, perlu memperhatikan hal-hal sbb:
1.
Kepekaan kepemimpinan visioner dan integratif untuk
menghadapi krisis dan perubahan secara global.
2.
Fokus, pada faktor kunci etika dan filsafat
kepemimpinan untuk menjalankan pelayanan kepada masyarakat.
3.
Identifikasi kepada seluruh pemimpin pusat dan daerah,
agar tiap individu menerjemahkan visi menjadi visi dan nilai pribadi.
4.
Memberikan makna yang mendalam bagi orang yang terlibat di
dalamnya, sehingga menjadi lebih bersemangat dan menghayati pekerjaan yang
tujuannya jelas.
Dampak
yang diharapkan dalam kepemimpinan pemerintah pusat dan daerah, antara lain:
1.
Menarik dalam
kepemimpinan team untuk berkomitmen dan memberi semangat NKRI.
2.
Menciptakan
makna dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3.
Membangun kompetensi standar keunggulan antar
daerah.
4.
Menjembatani
kepemimpinan masa sekarang dan masa depan dlam menuju kesejahteraan bersama.
H.
Kesimpulan.
Kepemimpinan Integratif dan Visioner dalam Otonomi Daerah
sangat dibutuhlan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik untuk
mesejahterakan masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga mampu memantabkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menepis Dis-Integrasi Bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew J. DuBrin, Leadership, Prenada Media Group, Jakarta, 2009.
Burt Nanus, Kepemimpinan Visioner, Prenhallindo,
Jakarta, 1992.
Gary Yulk, Kepemimpinan Dalam Organisasi, Indek, Jakarta,2005.
Jonathan, Smart Leadership, Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2004.
Sedarmayanti, Reformasi
Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan, Aditama,
Bandung, 2009.
Sutarto, Dasar-Dasar Kepemimpinan
Administrasi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1986.
0 komentar:
Posting Komentar