Selasa, 22 Mei 2012

Prinsip-prinsip Aqidah Ahlusunnah Wal Jama'ah


Oleh
Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.
 PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang telah menunjuki kita sekalian kepada cahaya Islam.  semoga shalawat serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan dan kekasih kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dilimpahkan kepada para sahabatnya yang shalih dan suci, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang setia selama ada waktu malam dan siang.

Wa ba’du : Inilah beberapa kalimat ringkas tentang penjelasan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang pada kenyataan hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam sehingga mereka terpecah belah. Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (da’wah) kontemporer dan jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru manusia (umat Islam) kepada golongannya ; mengklaim bahwa diri dan golongan merekalah yang paling baik dan benar, sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung kepada siapakah dia belajar Islam dan kepada jama’ah mana dia harus ikut bergabung. 

Bahkan seorang kafir yang ingin masuk Islam-pun bingung. Islam apakah yang benar yang harus di dengar dan dibacanya ; yakni ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman hidup sejak berabad-abad yang lalu ; namun justru dia hanya bisa melihat Islam sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.

Begitulah yang pernah dikatakan oleh seorang orientalis tentang Islam : “Islam itu tertutup oleh kaumnya sendiri”, yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim tetapi tidak konsisten (menetapi) dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah hilang seluruhnya oleh karena Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini dengan keabadian Kitab-Nya sebagaimana Dia telah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr : 9).

Maka, Pastilah akan senantiasa ada segolongan kaum muslimin yang tetap teguh (konsisten) memegang ajarannya dan memelihara serta membelanya sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Al-Maaidah : 54).

Dan firman Allah dalam surat  (Muhammad : 38).
Golongan atau jama’ah yang dimaksud adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits :
“Artinya : Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta’la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian”. (Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Imam Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam Nawawy).

Bertolak dari sinilah kita dan siapa saja yang ingin mengenal Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus mengenal golongan yang diberkahi ini dan yang mewakili Islam yang benar, Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar kita bisa mengambil contoh dari berjalan pada jalan mereka dan agar supaya orang kafir yang ingin masuk Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa bergabung.

AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
Pada masa kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).

Maka kemudian sudah beberapa kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka belum pernah berhasil. Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya : Janganlah kamu berinfaq kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar”.
Yang kemudian dibantah langsung oleh Allah (pada lanjutan ayat yang sama) :
“Padahal milik Allah-lah perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak memahami”. (Al-Munafiqun : 7).
Demikian pula, kaum Yahudi-pun berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.
“Artinya : Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran”. (Ali Imran : 72).
Walaupun demikian, makar yang seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah menelanjangi dan menghinakan (usaha) mereka.
Kemudian mereka berusaha untuk kedua kalinya mereka berusaha kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum Anshar tentang permusuhan diantara mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya’ir diantara mereka. Allah membongkar makar tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang diberi Al-Kitab niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian beriman”.(Ali Imran : 100).
Sampai pada firman Allah.
“Artinya : Pada hari yang diwaktu itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ….” (Ali-Imran : 106).
Maka kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasehati dan mengingatkan mereka ni’mat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal. 149-150) .
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.
“Artinya : Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa’rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku”. (Dikeluarkan oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).

Dan sabdanya pula.
“Artinya : Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini”. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi 5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam Asy-Syari’ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah hal 22-23 cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul I’tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah I nomor 145-147).

Sesungguhnya telah nyata apa-apa yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh Rasulullah dalam sabdanya.

Setelah berlalunya abad-abad yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan umat. 

Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang dikehendaki Allah. Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para penentangnya.

Sesungguhnya kelompok kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau.
“Artinya : Mereka adalah orang yang berada pada apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini”

NAMA-NAMA AL-FIQOTUN NAAJIYAH DAN ARTINYA
Diantara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang artinya adalah sebagai berikut.
  1. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya : “Seluruhnya di atas neraka kecuali satu ; yakni yang tidak masuk kedalam neraka”.
  2. Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di sabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini”.
  3. Bahwasanya pemeluk kelompok ini adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting ; pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji’ah ; atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ; atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij. Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul Jama’ah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan mereka.
  4. Bahwasanya kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti difirmankan Allah : “Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka”. (Muhammad : 7) . Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta’ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian”.
Prinsip-prinsip ahlussunnah waljamaah:
Prinsip Pertama

Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan buruk.

1. Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah artinya berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beriti’qad dan beramal dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid al-asmaa wa -ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan ; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid uluuhiyyah artinya mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu disyari’atkan oleh-Nya seperti berdo’a, takut, rojaa’ (harap), cinta, dzabh (penyembelihan), nadzr (janji), isti’aanah (minta pertolongan), al-istighotsah (minta bantuan), al-isti’adzah (meminta perlindungan), shalat, shaum, haji, berinfaq di jalan Allah dan segala apa saja yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid al-asma wash-shifaat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasuln-Nya telah tetapkan atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan mensucikan-Nya dari segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtstil (perumpamaan), tanpa tasybiih (penyerupaan), tahrif (penyelewengan), ta’thil (penafian), dan tanpa takwil (Asy-Syuro : 11), (Al-A’raf : 180).

2. Beriman kepada Para Malaikat-Nya
Yakni membenarkan adanya para malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah mahluk dari sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini. (Al-Anbiyaa : 26-27), Faathir : 1.

3. Iman kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab itu adalah Allah sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung diantara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu Taurat, Injil dan Al-Qur’an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang teragung yakni Al-Qur’an yang merupakan mu’jizat yang agung. (Al-isra : 88)
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengimani bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah ; dan dia bukanlah mahluq baik huruf maupun artinya. Berebda dengan pendapat golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk baik huruf maupun maknanya. Berbeda pula dengan kelompok yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa kalam (firman) Allah hanyalah artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah mahluk. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil berdasarkan firman Allah. (At-Taubah : 6), (Al-Fath : 15)

4. Iman Kepada Para Rasul
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak ; dari yang pertama sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Termasuk pula beriman kepada para rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka dan harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu seperti memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana yang difirmankan Allah. ( At-Taubah : 30)
Sedang orang-orang sufi dan para ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka telah meerendahkan dan menghinakan hak para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. Orang-orang Yahudi dan Nashrani telah -kafir terhadap Nabi Isa dan Muhammad ‘alaihima shalatu wa sallam,

5. Iman Kepada Hari Akhirat
Yakni membenarkan apa-apa yang akan terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni’mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatan dan pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan neraka.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan yan benar sesuai dengan tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah. (Al-Baqarah : 111), (Al-Baqarah : 80).

6. Iman kepada taqdir.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta’at, ma’shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya Allah itu mencintai keta’atan dan membenci kemakshiyatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengantar mereka pada keta’atan atau ma’shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan kehendak Allah.
Allah  telah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya. (At-Takwir : 29)

Prinsip Kedua
Iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman. (An-Naml : 14), (Al-Ankabut : 38)
Bukan pula iman itu hanya suatu keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah ; Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.…” (Al-Anfaal : 2-4)., (Al-Baqarah : 143).

Prinsip Ketiga
Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala. (An-Nisaa : 48).
Khawarij: mengkafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar.
Murji’ah: mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu’min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti suatu dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu perbuatan ta’at dengan adanya kekafiran.

Prinsip Keempat
Wajib ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema’skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, (An-Nisaa : 59)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya.
“Artinya : Barangsiapa yang ta’at kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku”. (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).

Prinsip Kelima
Haram keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Berlainan dengan Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya, keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.

Prinsip Keenam
Bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka. (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya”. (Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah Nawawy).
Berlainan dengan sikap orang-orang ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.

Prinsip Ketujuh
Mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya : Sesunnguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”. ( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.
“Artinya : Wahai wanita-wanita nabi ……..”.(Al-Ahzab : 32)
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab : 33)
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.
“Artinya : Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab : 1).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)

Prinsip Kedelapan
Membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah.  Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta.

Prinsip Kesembilan
Dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya : Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk”.
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman.  (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang ta’ashub dan ahlul bid’ah.
Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk (hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.
(Disarikan dari buku Prinsip-Prinsip ‘Aqidah Ahlus Sunah Wal Jama’ah oleh Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan).
*****
Maaf mohon ijin Ustadz saya masukan Blogg kami agar kami tambah ilmunya, amin, suwun.

0 komentar:

Posting Komentar