Oleh
Agus
Hasan Bashori, Lc., M.Ag.
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam
yang telah menunjuki kita sekalian kepada cahaya Islam. semoga shalawat
serta salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita, suri tauladan dan
kekasih kita, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
dilimpahkan kepada para sahabatnya yang shalih dan suci, baik dari kalangan
Muhajirin maupun Anshar, serta kepada para pengikutnya yang setia selama ada
waktu malam dan siang.
Wa ba’du : Inilah beberapa kalimat
ringkas tentang penjelasan ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yang pada kenyataan
hidup masa kini diperselisihkan oleh umat Islam sehingga mereka terpecah belah.
Hal itu terbukti dengan tumbuhnya berbagai kelompok (da’wah) kontemporer dan
jama’ah-jama’ah yang berbeda-beda. Masing-masing menyeru manusia (umat Islam)
kepada golongannya ; mengklaim bahwa diri dan golongan merekalah yang paling
baik dan benar, sampai-sampai seorang muslim yang masih awam menjadi bingung
kepada siapakah dia belajar Islam dan kepada jama’ah mana dia harus ikut
bergabung.
Bahkan seorang kafir yang ingin masuk Islam-pun bingung. Islam
apakah yang benar yang harus di dengar dan dibacanya ; yakni ajaran Islam yang
bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diterapkan dan tergambar
dalam kehidupan para sahabat Rasulullah yang mulia dan telah menjadi pedoman
hidup sejak berabad-abad yang lalu ; namun justru dia hanya bisa melihat Islam
sebagai sebuah nama besar tanpa arti bagi dirinya.
Begitulah yang pernah dikatakan oleh
seorang orientalis tentang Islam : “Islam itu tertutup oleh kaumnya sendiri”,
yakni orang-orang yang mengaku-ngaku muslim tetapi tidak konsisten (menetapi)
dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Kami tidak mengatakan bahwa Islam telah
hilang seluruhnya oleh karena Allah telah menjamin kelanggengan Islam ini
dengan keabadian Kitab-Nya sebagaimana Dia telah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang
telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr : 9).
Maka, Pastilah akan senantiasa ada
segolongan kaum muslimin yang tetap teguh (konsisten) memegang ajarannya dan
memelihara serta membelanya sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Al-Maaidah : 54).
Dan firman Allah dalam surat (Muhammad
: 38).
Golongan atau jama’ah yang dimaksud
adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits :
“Artinya : Akan senantiasa ada
segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul,
yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga
datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta’la), sedang mereka tetap dalam keadaan
yang demikian”. (Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari
4/3641, 7460; dan Imam Muslim 5 juz 13, hal. 65-67 pada syarah Imam Nawawy).
Bertolak dari sinilah kita dan siapa
saja yang ingin mengenal Islam yang benar beserta pemeluknya yang setia harus
mengenal golongan yang diberkahi ini dan yang mewakili Islam yang benar, Semoga
Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan ini agar kita bisa mengambil
contoh dari berjalan pada jalan mereka dan agar supaya orang kafir yang ingin masuk
Islam itupun dapat mengetahui untuk kemudian bisa bergabung.
AL-FIRQOTUN NAJIYAH ADALAH
AHLUS SUNNAH WAL-JAMA’AH
Pada masa kepemimpinan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu adalah umat yang satu
sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya kalian
adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah
kepada-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).
Maka kemudian sudah beberapa kali
kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka belum pernah berhasil.
Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya : Janganlah kamu berinfaq
kepada orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar”.
Yang kemudian dibantah langsung oleh
Allah (pada lanjutan ayat yang sama) :
“Padahal milik Allah-lah
perbandaharaan langit dan bumi, akan tetapi orang-orang munafiq itu tidak
memahami”. (Al-Munafiqun : 7).
Demikian pula, kaum Yahudi-pun
berusaha memecah belah dan memurtadkan mereka dari Ad-Din mereka.
“Artinya : Segolongan (lain) dari
Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu
kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada
permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara
demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran”. (Ali Imran : 72).
Walaupun demikian, makar yang
seperti itu tidak pernah berhasil karena Allah menelanjangi dan menghinakan
(usaha) mereka.
Kemudian mereka berusaha untuk kedua
kalinya mereka berusaha kembali memecah belah kesatuan kaum muslimin (Muhajirin
dan Anshar) dengan mengibas-ngibas kaum Anshar tentang permusuhan diantara
mereka sebelum datangnya Islam dan perang sya’ir diantara mereka. Allah
membongkar makar tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, jika kalian mengikuti segolongan orang-orang yang diberi Al-Kitab
niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi orang kafir sesudah kalian
beriman”.(Ali Imran : 100).
Sampai pada firman Allah.
“Artinya : Pada hari yang diwaktu
itu ada wajah-wajah berseri-seri dan muram ….” (Ali-Imran : 106).
Maka kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mendatangi kaum Anshar : menasehati dan mengingatkan mereka
ni’mat Islam dan bersatunya merekapun melalui Islam, sehingga pada akhirnya
mereka saling bersalaman dan berpelukan kembali setelah hampir terjadi
perpecahan. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I/397 dan Asbabun Nuzul Al-Wahidy hal.
149-150) .
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memerintahkan kaum muslimin ini agar bersatu dan melarang mereka
dari perpecahan dan perselisihan. Bahkan beliau telah memberitahukan suatu
berita yang berisi anjuran untuk bersatu dan larangan untuk berselisih, yakni
berita tentang akan terjadinya perpecahan pada umat ini sebagaimana hal
tersebut telah terjadi pada umat-umat sebelumnya ; sabdanya.
“Artinya : Sesunguhnya barangsiapa
yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak,
maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa’rasiddin
yang mendapat petunjuk setelah Aku”. (Dikeluarkan
oleh Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan
shahih ; juga oleh Imam Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43).
Dan sabdanya pula.
“Artinya : Telah berpecah kaum
Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara
menjadi tujuh puluh dua golongan ; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh
puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun
bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu
barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari
ini”. (Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
5/2641 dan Al-Hakim di dalam Mustadraknya I/128-129, dan Imam Al-Ajury di dalam
Asy-Syari’ah hal.16 dan Imam Ibnu Nashr Al-Mawarzy di dalam As-Sunnah hal 22-23
cetakan Yayasan Kutubus Tsaqofiyyah 1408, dan Imam Al-Lalikaai dalam Syar Ushul
I’tiqaad Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah I nomor 145-147).
Sesungguhnya telah nyata apa-apa
yang telah diberitakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
berpecahlah umat ini pada akhir generasi sahabat walaupun perpecahan tersebut
tidak berdampak besar pada kondisi umat semasa generasi yang dipuji oleh
Rasulullah dalam sabdanya.
Setelah berlalunya abad-abad yang
dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang
bertentangan. Diterjemahkannya kitab ilmu ajaran-ajaran kuffar dan para raja
Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk ajaran kafir untuk dijadikan
menteri dan penasihat kerajaan, maka semakin dahsyatlah perselisihan di
kalangan umat dan bercampurlah berbagai ragam golongan dan ajaran. Begitupun
madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka merusak persatuan
umat.
Hal itu terus berlangsung hingga zaman kita sekarang dan sampai masa yang
dikehendaki Allah. Walaupun demikian kita tetap bersyukur kepada Allah karena
Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih tetap berada dalam keadaan
berpegang teguh dengan ajaran Islam yang benar berjalan diatasnya, dan menyeru kepadanya
; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam
hadits Rasulullah tentang keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya.
Yang demikian itu adalah karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan
tegaknya hujjah atas para penentangnya.
Sesungguhnya kelompok kecil yang
diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat
Radhiyallahu ‘anhum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam
perkataan perbuatan maupun keyakinannya seperti yang disabdakan oleh beliau.
“Artinya : Mereka adalah orang yang
berada pada apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini”
NAMA-NAMA
AL-FIQOTUN NAAJIYAH DAN ARTINYA
Diantara nama-namanya adalah :
Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat) ; Ath-Thooifatul Manshuroh
(golongan yang ditolong) ; dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang artinya adalah
sebagai berikut.
- Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang selamat dari api neraka sebagaimana telah dikecualikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan kelompok-kelompok yang ada pada umatnya dengan sabdanya : “Seluruhnya di atas neraka kecuali satu ; yakni yang tidak masuk kedalam neraka”.
- Bahwasanya kelompok ini adalah kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu yang pertama) baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, sebagaimana di sabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini”.
- Bahwasanya pemeluk kelompok ini adalah mereka yang menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting ; pertama. berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemeluk sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain karena mereka berpegang teguh dengan pendapat-pendapatnya, hawa nafsunya dan perkataan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kelompok-kelompok tersebut tidak dinisbatkan kepada Sunnah, akan tetapi dinisbatkan kepada bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan yang ada pada kelompok itu sendiri, seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji’ah ; atau dinisbatkan kepada para imam-nya seperti Al-Jahmiyah ; atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar-Rafidhah dan Al-Khawarij. Adapun perbedaan yang kedua adalah bahwasanya mereka itu Ahlul Jama’ah karena kesepakatan mereka untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain, mereka tidak bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq akan tetapi mereka itu hanya mengikuti hawa nafsu mereka, maka tidak ada kebenaran pada mereka yang mampu menyatukan mereka.
- Bahwasanya kelompok ini adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya mereka dalam menolong dinullah maka Allah menolong mereka, seperti difirmankan Allah : “Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka”. (Muhammad : 7) . Oleh karena itu pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Tidaklah yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu memadlorotkan (membahayakan) mereka sampai datang keputusan Allah Tabaraka wa Ta’ala sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian”.
Prinsip-prinsip ahlussunnah
waljamaah:
Prinsip Pertama
Beriman kepada Allah, para
Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan
buruk.
1. Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah artinya
berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beriti’qad dan beramal
dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid
al-asmaa wa -ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah adalah menatauhidkan
segala apa yang dikerjakan Allah baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan
mematikan ; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
Tauhid uluuhiyyah artinya mengesakan
Allah melalui segala pekerjaan hamba yang dengan cara itu mereka bisa
mendekatkan diri kepada Allah apabila memang hal itu disyari’atkan oleh-Nya
seperti berdo’a, takut, rojaa’ (harap), cinta, dzabh (penyembelihan), nadzr
(janji), isti’aanah (minta pertolongan), al-istighotsah (minta bantuan),
al-isti’adzah (meminta perlindungan), shalat, shaum, haji, berinfaq di jalan
Allah dan segala apa saja yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali
maupun yang lainnya.
Sedangkan makna tauhid al-asma
wash-shifaat adalah menetapkan apa-apa yang Allah dan Rasuln-Nya telah tetapkan
atas diri-Nya baik itu berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah dan
mensucikan-Nya dari segala ‘aib dan kekurangan sebagaimana hal tersebut telah
disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Semua ini kita yakini tanpa melakukan tamtstil
(perumpamaan), tanpa tasybiih (penyerupaan), tahrif (penyelewengan),
ta’thil (penafian), dan tanpa takwil (Asy-Syuro : 11), (Al-A’raf
: 180).
2. Beriman kepada Para Malaikat-Nya
Yakni membenarkan adanya para
malaikat dan bahwasanya mereka itu adalah mahluk dari sekian banyak mahluk
Allah, diciptakan dari cahaya. Allah mencitakan malaikat dalam rangka untuk
beribadah kepada-Nya dan menjalankan perintah-perintah-Nya di dunia ini.
(Al-Anbiyaa : 26-27), Faathir : 1.
3. Iman kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab
Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (petunjuk) dan
cahaya serta mengimani bahwasanya yang menurunkan kitab-kitab itu adalah Allah
sebagai petunjuk bagi seluruh manusia. Dan bahwasanya yang paling agung
diantara sekian banyak kitab-kitab itu adalah tiga kitab yaitu Taurat, Injil
dan Al-Qur’an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang teragung yakni
Al-Qur’an yang merupakan mu’jizat yang agung. (Al-isra : 88)
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengimani
bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam (firman) Allah ; dan dia bukanlah mahluq baik
huruf maupun artinya. Berebda dengan pendapat golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah,
mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk baik huruf maupun maknanya.
Berbeda pula dengan kelompok yang menyerupai mereka, yang mengatakan bahwa
kalam (firman) Allah hanyalah artinya saja, sedangkan huruf-hurufnya adalah
mahluk. Menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kedua pendapat tersebut adalah bathil
berdasarkan firman Allah. (At-Taubah : 6), (Al-Fath : 15)
4. Iman Kepada Para Rasul
Yakni membenarkan semua rasul-rasul
baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak ; dari yang pertama
sampai yang terkahir, dan penutup para nabi tersebut adalah nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Termasuk pula beriman kepada para
rasul adalah tidak melalaikan dan tidak berlebih-lebihan terhadap hak mereka
dan harus berbeda dengan kaum Yahudi dan Nashara yang berlebih-lebihan terhadap
para rasul mereka sehingga mereka menjadikan dan memperlakukan para rasul itu
seperti memperlakukan terhadap Tuhanya (Allah) sebagaimana yang difirmankan
Allah. ( At-Taubah : 30)
Sedang orang-orang sufi dan para
ahli filsafat telah bertindak sebaliknya. Mereka telah meerendahkan dan
menghinakan hak para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang
kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut.
Orang-orang Yahudi dan Nashrani telah -kafir terhadap Nabi Isa dan Muhammad
‘alaihima shalatu wa sallam,
5. Iman Kepada Hari Akhirat
Yakni membenarkan apa-apa yang akan
terjadi setelah kematian dari hal-hal yang telah diberitakan Allah dan
Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni’mat kubur, hari kebangkitan dari kubur,
hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya
segala amal perbuatan dan pemberian buku laporan amal dengan tangan kanan atau
kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan neraka.
Dan sungguh telah mengingkari adanya
hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi
dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan yan benar sesuai dengan
tuntutan, walau mereka beriman akan adanya hari akhir. Firman Allah.
(Al-Baqarah : 111), (Al-Baqarah : 80).
6. Iman kepada taqdir.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu
mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan
menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi,
baik maupun buruk, kafir, iman, ta’at, ma’shiyat, itu telah dikehendaki,
ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya Allah itu mencintai keta’atan
dan membenci kemakshiyatan.
Sedang hamba Allah itu mempunyai
kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang
mengantar mereka pada keta’atan atau ma’shiyat, akan tetapi semua itu mengikuti
kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan pendapat golongan Jabariyah yang
mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki
pilihan dan kemampuan sebaliknya golongan Qodariyah mengatakan bahwasanya hamba
itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan bahwasanya dialah yang menciptkan
pekerjaan dirinya, kemauan dan kehendak hamba itu terlepas dari kemauan dan
kehendak Allah.
Allah telah membantah kedua
pendapat di atas dengan firman-Nya. (At-Takwir : 29)
Prinsip Kedua
Iman itu perkataan, perbuatan dan
keyakinan yang bisa bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan
kema’shiyatan, maka iman itu bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa
keyakinan sebab yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan
pula iman itu hanya sekedar ma’rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan
amal sebab yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak
kebenaran. Allah berfirman. (An-Naml : 14), (Al-Ankabut : 38)
Bukan pula iman itu hanya suatu
keyakinan dalam hati atau perkataan dan keyakinan tanpa amal perbuatan karena
yang demikian adalah keimanan golongan Murji’ah ; Allah seringkali menyebut
amal perbuatan termasuk iman sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.…” (Al-Anfaal
: 2-4)., (Al-Baqarah : 143).
Prinsip Ketiga
Tidak mengkafirkan seorangpun dari
kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan
keislamannya. Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil
yang menghukumi pelakunya sebagai kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena
malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi
dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila dia mati sedang dia belum
bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Dia berkehendak Dia akan
mengampuninya, namun si pelaku tidak kekal di neraka, telah berfirman Allah
Subhanahu wa Ta’ala. (An-Nisaa : 48).
Khawarij: mengkafirkan orang-orang
yang melakukan dosa besar.
Murji’ah: mengatakan si pelaku dosa
besar sebagai mu’min sempurna imannya, dan mereka mengatakan pula tidak berarti
suatu dosa/ma’shiyat dengan adanya iman sebagaimana tak berartinya suatu
perbuatan ta’at dengan adanya kekafiran.
Prinsip Keempat
Wajib ta’at kepada pemimpin kaum
muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema’skshiyatan,
apabila mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, dikala itulah kita dilarang
untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran lainnya, (An-Nisaa :
59)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam
“Artinya : Dan aku berwasiat kepada
kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta’at walaupun yang
memimpin kalian seorang hamba”.(Telah
terdahulu takhrijnya, merupakan potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah tentang
nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandang
bahwa ma’shiyat kepada seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat kepada
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya.
“Artinya : Barangsiapa yang ta’at
kepada amir (yang muslim) maka dia ta’at kepadaku dan barangsiapa yang
ma’shiyat kepada amir maka dia ma’shiyat kepadaku”. (Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223
atas Syarah Nawawi).
Prinsip Kelima
Haram keluar untuk memberontak
terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang
menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Berlainan dengan
Mu’tazilah yang mewajibkan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang
melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang
hal tersebut sebagai amar ma’ruf nahi munkar. Sedang pada kenyataannya,
keyakinan Mu’tazilah seperti ini merupakan kemunkaran yang besar karena
menuntut adanya bahaya-bahaya yang besar baik berupa kericuhan, keributan,
perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.
Prinsip Keenam
Bersihnya hati dan mulut mereka
terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini telah
digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika mengkisahkan Muhajirin dan
Anshar dan pujian-pujian terhadap mereka. (Al-Hasyr : 10).
Dan sesuai dengan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Janganlah kamu
sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya,
kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung
uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara
mereka tidak juga setengahnya”.
(Dikeluarkan oleh Bukhary 3/3673, dan Muslim 6/ Juz 16 hal 92-93 atas Syarah
Nawawy).
Berlainan dengan sikap orang-orang
ahlul bid’ah baik dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan
meremehkan keutamaan para sahabat.
Ahlus Sunnah memandang bahwa para
khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Bakar,
kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka,
maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma
atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
Prinsip Ketujuh
Mencintai ahlul bait sesuai dengan
wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya : Sesunnguhnya aku
mengingatkan kalian dengan ahli baitku”.
( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi
‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga beliau
adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa
ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur
mereka.
“Artinya : Wahai wanita-wanita nabi
……..”.(Al-Ahzab : 32)
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat
kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan
kamu sesuci-sucinya”. ( Al-Ahzab
: 33)
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah
saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud
disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara
dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak.
Allah berfirman.
“Artinya : Celakalah kedua tangan
Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. (Al-Lahab
: 1).
Dan saudara-saudara Rasulullah yang
sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan
penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan
mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa
mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah
adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad)
: Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi
kalian”. (Al-Jin : 21).
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad)
: Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang
tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku
aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan”. (Al-A’raf : 188)
Prinsip Kedelapan
Membenarkan adanya karomah para wali
yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka,
berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana
hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sedang golongan yang mengingkari
adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah. Akan
tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita
sekarang yang tersesat dalam masalah karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga
memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah baik berupa
jampi-jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta.
Prinsip Kesembilan
Dalam berdalil selalu mengikuti
apa-apa yang datang dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dijalankan
oleh para sahabat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan khususnya
mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya : Berepegang teguhlah kamu
kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk”.
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak
mendahulukan perkataan siapapun terhadap firman Allah dan sabda Rasulullah.
Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah mengambil
dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati
ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; yakni Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada
Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah telah berfirman. (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya
kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mereka tidak berta’ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut
bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu
bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad
sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut
ahlul ‘ilmi.
Perbedaan-perbedaan diantara mereka
dalam masalah ijtihad tidak boleh mengharuskan adanya permusuhan dan saling
memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orang-orang yang
ta’ashub dan ahlul bid’ah.
Kita memohon kepada Allah Azza wa
Jalla agar berkenan menjadikan kita semua bagian dari mereka dan tidak
menjadikan hati kita condong kepada kekafiran setelah diberi petunjuk
(hidayah-Nya) dan semoga shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya.
Aamin.
(Disarikan dari buku Prinsip-Prinsip
‘Aqidah Ahlus Sunah Wal Jama’ah oleh Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah
Al-Fauzan).
*****
Maaf mohon ijin Ustadz saya masukan
Blogg kami agar kami tambah ilmunya, amin, suwun.
0 komentar:
Posting Komentar