As-Sunnah adalah Dasar Hukum Islam yang Tidak Boleh Ditinggalkan
بسم الله الرحمن الرحيم
Oleh: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala
Para pembaca rahimakumullah,
sebelum kita masuk kepada pembahasan ini, perlu diketahui bahwa yang
dimaksud dengan As-Sunnah di sini adalah setiap ucapan, perbuatan, dan
ketetapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebut dengan hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Belakangan banyak bermunculan
pihak-pihak yang berani menyatakan bahwa hewan buas tidak haram, dengan
alasan bahwa yang diharamkan dalam Al-Qur`an hanya 4 macam saja, yaitu
sebagaimana dalam surat Al-An’am: 145, “Katakanlah: “Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua
itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”
Adapun selainnya maka berarti
halal. Bahkan muncul pihak-pihak yang dengan tegas mengatakan bahwa
anjing halal untuk dimakan. Tentu saja, alasan mereka adalah dalam
rangka berpegang kepada teks ayat Al-Qur’an. Apabila ada makanan lain di
luar 4 macam di atas yang dinyatakan haram juga, maka berarti menyalahi
teks ayat di atas. Mereka adalah pihak-pihak yang mengklaim hanya
berpegang kepada Al-Qur`an saja sebagai landasan satu-satunya dalam
syari’at ini. Adapun As-Sunnah menurut mereka bukan landasan hukum
syari’at. Atau setidaknya, jika ada hadits “bertentangan” dengan
Al-Qur’an, maka hadits tersebut harus gugur.
Hal ini mengingatkan kita akan berita yang pernah disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: Dari sahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallaahu ‘anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Ketahuilah
sesungguhnya diberikan kepadaku Al-Kitab (Al-Qur`an) dan yang
semisalnya (yakni As-Sunnah/Al-Hadits) bersamanya. Ketahuilah hampir
tiba masanya seorang pria yang kenyang di atas singgasananya. Dia
berkata: ‘Wajib atas kalian berpegang dengan Al-Qur`an ini (saja). Apa
yang kalian dapatkan di dalamnya sesuatu yang halal, maka halalkanlah,
dan apa yang kalian dapatkan di dalamnya sesuatu yang haram maka
haramkanlah.’
(Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda): “Ketahuilah,
sesungguhnya tidak halal bagi kalian daging himar (keledai) jinak,
tidak pula setiap hewan buas yang berkuku tajam, demikian pula barang
temuan milik orang kafir mu’ahad.” (HR. Abu Dawud 4604)
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
“Padahal sesungguhnya apa yang
diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama kedudukan
dengan apa yang diharamkan oleh Allah.” (HR. at-Tirmidzi no. 2664, Ibnu Majah no. 12)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu ta’ala berkata, “Yakni apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama kedudukannya dengan apa yang diharamkan dan dihalalkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala.”
Dari sahabat al-’Irbadh bin Sariyah as-Sulami radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah,
sungguh demi Allah, saya telah memberikan nasehat, saya telah
menyampaikan perintah dan larangan tentang berbagai permasalahan,
sesungguhnya (yang saya sampaikan itu) benar-benar sebanding dengan
Al-Qur`an atau lebih banyak…” (HR. Abu Dawud no. 30350)
Para ulama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah sepakat bahwa As-Sunnah juga sumber syari’at Islam di samping
Al-Qur’an, tentunya dengan syarat As-Sunnah yang shahih atau hasan.
Tidak ada satu hadits shahih pun yang maknanya bertentangan dengan ayat
Al-Qur’an. As-Sunnah merupakan sumber hukum yang independen. Sebagaimana
Al-Qur’an adalah wahyu dari Allah, maka As-Sunnah juga merupakan wahyu
dari Allah. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman, “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu.” (An-Nisa`: 113)
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa makna “Al-Hikmah” adalah As-Sunnah.
Allah subhaanahu wa ta’ala menamakan sabda-sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai wahyu dalam firman-Nya, “Tiadalah
yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rahimahullaahuma berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil mengisyaratkan jari beliau ke bibir beliau, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya tidaklah keluar darinya (yakni dari bibir beliau yang mulia) kecuali haq.” (HR. Abu Dawud no. 3646, Ahmad II/162)
Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu juga meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Tidaklah aku bersabda kecuali kebenaran.” (HR. at-Tirmidzi no. 1990, Ahmad II/340)
Al-Imam Hassan bin ‘Athiyyah rahimahullaahu ta’ala berkata, “Jibril turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa As-Sunnah, sebagaimana ia (Jibril) turun kepada beliau dengan membawa Al-Qur`an.” (HR. ad-Darimi no. 587. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu ta’ala berkata dalam Fathul Bari (XIII/291), “Sanadnya shahih.”)
Al-Qur’an Memerintahkan untuk Menaati dan Mengamalkan As-Sunnah sebagaimana Menaati dan Mengamalkan Al-Qur’an (Lihat dalil-dalilnya di Buletin Al Ilmu no. 19 dengan judul Jalan Menuju al-Jannah)
Maka barang siapa berkeyakinan
hanya mengamalkan Al-Qur’an saja dan tidak mau kepada As-Sunnah, maka
sungguh dia telah mendustakan dan mengingkari Al-Qur’an itu sendiri.
Jadi, tidak mungkin seseorang mengatakan mengikuti Al-Qur’an saja tanpa
As-Sunnah, atau sebaliknya. Al-Qur’an dan As-Sunnah saling terkait dan
tidak bisa lepas satu sama lain. Bahkan Allah ‘azza wa jalla mengancam orang-orang yang meninggalkan As-Sunnah. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Taatilah Allah dan
Rasul-Nya; (namun) jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
mencintai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaahu ta’ala menjelaskan, “Kemudian Allah berfirman memerintahkan kepada semua manusia, baik umum maupun khusus, (Katakanlah: “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; (namun) jika kalian berpaling) yakni jika kalian menyelisihi perintah beliau (maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir”) menunjukkan bahwa menyelisihi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam thariqah
(metode pemahaman dan aplikasi agama) adalah kekufuran. Allah tidak
mencintai orang yang bersifat demikian – meskipun ia mengaku mencintai
Allah dan senantiasa bertaqarrub kepada-Nya – sampai benar-benar mau
mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.“
Ketika mengamalkan As-Sunnah
tidak perlu melihat terlebih dahulu apakah hukum tersebut ada dalam
Al-Qur’an ataukah tidak. Karena selama As-Sunnah itu shahih, pasti
selaras dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Pada suatu hari,
al-Imam Sa’id bin Jubair menyampaikan hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Tiba-tiba ada seseorang yang berkata: “Di dalam Kitabullah (Al-Qur`an)
ada yang berbeda dengan hadits ini.’ Maka Al-Imam Sa’id bin Jubair
berkata, “Tidakkah kau perhatikan bahwa aku menyampaikan hadits ini dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam namun engkau berani mempertentangkannya dengan Kitabullah?! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih mengerti tentang Kitabullah daripada kamu!” (HR. ad-Darimi no. 589)
Suatu hari, tatkala sahabat yang mulia ‘Imran bin Hushain radhiyallaahu ‘anhu menyampaikan hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
tiba-tiba ada seorang pria memprotes, “Berilah kami ayat-ayat Al-Qur`an
saja!” Maka ‘Imran pun marah mendengarnya seraya mengatakan, “Sungguh
kamu ini orang yang dungu/pandir! Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an
perintah zakat, namun di manakah ketentuan pada tiap dua ratus dirham
ada jatah lima dirham (yakni ketentuan 2,5%)? Allah menyebutkan dalam
Al-Qur’an perintah shalat, namun di manakah ketentuan Shalat Zhuhur atau
‘Ashr 4 rakaat? Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an perintah Thawaf,
namun di manakah ketentuan thawaf di Ka’bah 7 kali dan Sa’i antara Shafa
dan Marwah juga 7 kali?! Itulah hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur’an,
dan ditafsirkan (diterangkan) oleh As-Sunnah.” (lihat Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi II/81)
Hadits (As-Sunnah) yang shahih tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang paling mengerti tentang Al-Qur’an dibandingkan siapapun.
Tidak mungkin beliau bersabda tentang sesuatu yang bertentangan dengan
firman Allah subhaanahu wa ta’ala. Sesungguhnya As-Sunnah berfungsi sebagai tafsir dan penjelas ayat-ayat Al-Qur’an. “Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu (Muhammad) menerangkan pada
umat manusia wahyu yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” (Al-Nahl: 44)
Perlu diketahui, terkadang
As-Sunnah menyebutkan hukum tersendiri yang tidak disebutkan dalam
Al-Qur’an. Contohnya, dalam Al-Qur’an diharamkan menikahi dua wanita
bersaudara (kakak beradik) secara bersamaan, maka As-Sunnah menambahkan
hukum baru, yaitu mengharamkan pula menikah wanita dan bibinya secara
bersamaan. Demikian pula As-Sunnah menyebutkan hukum jatah warisan bagi
nenek adalah seperenam, yang hukum ini tidak ada penyebutannya dalam
Al-Qur’an. Maka itu semua wajib kita imani, kita terima, dan kita
amalkan.
Ada dua orang pria dari kalangan
Khawarij datang kepada khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz v, dua orang ini
termasuk yang mengingkari syariat hukum rajam bagi pelaku zina (yang
sudah menikah), dan keharaman menikahi wanita bersama bibinya sekaligus,
dengan alasan bahwa hukum tersebut tidak ada dalam Al-Qur’an. Maka
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz bertanya kepada mereka berdua, “Berapa kali Allah
mewajibkan shalat kepada kalian?” Mereka berdua menjawab, “Shalat lima
waktu dalam sehari semalam.” Kemudian khalifah bertanya lagi tentang
jumlah rakaatnya, yang kemudian dijawab oleh mereka, lalu Khalifah
bertanya lagi tentang kadar dan nishab zakat, mereka pun menjawabnya.
Lalu khalifah bertanya, “Apakah
kalian berdua mendapatkan ketentuan hukum-hukum tersebut dalam
Al-Qur’an? Dua orang tersebut menjawab, “Kami tidak mendapatinya dalam
Al-Qur’an.” Khalifah bertanya lagi, “Maka dari mana kalian mengetahui
ketentuan hukumnya?” Kedunya menjawab, “Hal itu telah dipraktekkan oleh
Rasulullah dan kaum muslimin.” Maka Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
lantas berkata, “Demikian pula ini (yakni hukum rajam bagi pelaku zina
(yang sudah menikah), dan keharaman menikahi wanita bersama bibinya
sekaligus juga dijelaskan dan diamalkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) (lihat Al-Mughni VII/115)
Terkecuali apabila haditsnya adalah hadits yang dha’if (lemah) atau mau’dhu’ (palsu), maka kita tidak boleh mengimani dan tidak boleh mengamalkannya.
Adapun yang wajib diimani,
diterima, dan diamalkan adalah hadits-hadits (As-Sunnah) yang shahih
periwayatannya dari Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: Buletin Al Ilmu
0 komentar:
Posting Komentar